Selasa, 29 Oktober 2013

Konseling Perilaku-Kognitif untuk Meningkatkan Academic Self-efficacy Siswa


       Konseling Perilaku-Kognitif untuk Meningkatkan Academic Self-efficacy Siswa

Banyak pendekatan-pendekatan yang ditawarkan ahli untuk meningkatkan rasa keberhasilan dalam akademik siswa. Intervensi klinis dengan pendekatan kognitif-perilaku dapat digunakan untuk mengintervensi Academic Self-efficacy. Tujuan utama terapi kognitif-perilaku adalah meningkatkan kesadaran individu terhadap keyakinan irasional menjadi keyakinan yang lebih akurat, adaptif, dan berbasis realitas. Hasilnya adalah simplifikasi atau berpikiran secara berlebihan, harapan tidak realistik, dan toleransi terhadap frustrasi.
Sebelumnya Ellis (1962) mengemukakan bahwa pendekatan kognitif-perilaku efektif sebagai modus intervensi berdasarkan pengalaman praktek klinisnya. Ellis mengamati kemajuan klien terjadi ketika perobahan kognitif klien. Menurut Kuelwin & Rosen (1993) terapi kognitif-perilaku bersifat kolaboratif dan berbasis empiris sehingga memungkinkan untuk  (1) merancang agenda antara klien dan terapis untuk setiap sesi pertemuan, (2) memberikan umpan balik kepada terapis, (3) terapis dan klien bertindak sebagi tim untuk menginvestigasi akurasi dan kesesuaian kognisi klien, dan (4) mengumpulkan fakta empiris berdasarkan pengalaman klien di luar sesi terapi.
Konseling perilaku-kognitif  merupakan salah satu pendekatan yang oleh sebagian ahli disebut pendekatan yang lebih integratif. Matson & Ollendick, (1988) mendefinisikan konseling perilaku-kognitif sebagai suatu pendekatan dalam konseling yang menerapkan sejumlah prosedur secara spesifik dengan menggunakan kognisi sebagai bagian utama terapi. Fokus konseling ini adalah persepsi, kepercayaan dan pikiran.
Terapi kognitif-perilaku merupakan sebuah pendekatan yang memiliki pengaruh dari pendekatam cognitive therapy dan  behavior therapy. Oleh sebab itu, Matson & Ollendick (1988) menegaskan terapi kognitif-perilaku  merupakan perpaduan pendekatan dalam psikoterapi yaitu cognitive therapy dan  behavior therapy. Sejarah kognitif-perilaku tidak dapat dilepaskan dari perkembangan teori perilaku dan beberapa model kognitif. Victor Raimy (Meichenbaum, 1995) melacak sejarah terapi kognitif-perilaku pada zaman Yunani Kuno dan Romawi. Filsuf Epictetus mengemukakan peranan faktor kognitif terhadap gangguan emosional. Imanuel kant mengemukakan bahwa gangguan mental terjadi ketika seseorang gagal mengoreksi ‘private sense’ dengan ‘common sense’. Teori modern menggunakan istilah ‘biased appraisal processes, disordered construct, irrasional belief, cognitive distortions, maladaptive coping and problem-solving skills’ untuk menjelaskan faktor kognisi terhadap gangguan emosional dan perilaku salahsuai.
Menurut Matson & Ollendick (1988) pendekatan ini bagian dari pendekatan behavioral tradisional yang dikembangkan Pavlov pada awal abad ke 20-an. Pendekatan ini diadopsi dari Watson tahun 1920 yang kemudian dikembangkan dalam penelitian oleh ahli-ahli penelitian klinis seperti B.F. Skiner dan Hans Eysenck pada tahun 1950-an. Selanjutnya lahirlah pendekatan perilaku-kognitif untuk menyempurnakan teori sebelumnya dan semakin berkembang dengan dilakukannya penelitian-penelitian oleh para ahli.
Teori kognitif-perilaku dibangun berdasarkan asumsi, teknik-teknik dan strategi riset umum yang menekankan pentingnya aspek kognitif untuk perubahan perilaku. Istilah kognitif-perilaku merefleksikan pentingnya pendekatan  kognitif dan perilaku  untuk memahami dan membantu individu. Menurut teori kognitif-perilaku  individu yang akan bertindak, didahului adanya proses berpikir, sebelum individu tersebut bisa memodifikasi prilaku yang tidak adaptif guna menghasilkan perubahan perilaku (Kendall dan Hollon dalam Bond, 2004). Untuk bisa mengubah suatu perilaku yang tidak adaptif, individu harus memahami fenomena yang ada dalam pengalaman kognitif dan berusaha untuk membangun perilaku adaptif dengan mempelajari keterampilan-keterampilan yang terdapat pada terapi perlakuan. Melalui keterampilan-keterampilan yang diajarkan, diharapkan individu itu mengaplikasikannya dalam kehidupan sehari-hari (Meichenbaum, 1996)
Terdapat dua teori dan riset yang berkontribusi terhadap perkembangan pendekatan konseling kognitif-perilaku yaitu ‘cognitive –semantic therapist’ yang dikembangkan oleh George Kelly, Albert Ellis, Aaron Beck dan ‘learning theory’ yang dipelopori oleh Julian Rotter, Albert bandura, Walter Mischel, Michael Mahoney, dan Don Meichenbaum (Matson & Ollendick, 1988).
Ahli terapis semantik menjelaskan bahwa gangguan emosional dan perilaku salahsuai disebabkan oleh adanya keyakinan yang tidak rasional dan distorsi kognitif, sebaliknya terapis perilaku menyatakan reaksi sosial orang lain merupakan penentu terjadinya perilaku abnormal. Konseling kognitif perilaku memandang secara integratif bahwa faktor pikiran, perasaan, perilaku, dan konsekuensi lingkungan berperan terhadap perilaku abnormal (Matson & Ollendick, 1988).
Menurut teori kognitif-perilaku academic selff-efficacy terbentuk dari  stimulus-kognisi-respon (KSR) yang saling terkait dan membentuk semacam jaringan SKR dalam otak manusia, di mana proses kognitif menjadi faktor penentu dalam menjelaskan bagaimana siswa berpikir, merasa dan bertindak (Oemarjoedi, 2003). Teori perilaku-kognitif memiliki keyakinan bahwa manusia memiliki potensi untuk menyerap pemikiran yang rasional dan irrasional, di mana pemikiran yang irasional dapat menimbulkan gangguan emosi dan tingkah laku yang menyimpang, maka konseling kognitif-perilaku diarahkan pada modifikasi fungsi berfikir, merasa dan bertindak dengan menekankan peran otak dalam menganalisa, memutuskan, bertanya, bertindak, dan memutuskan kembali. Dengan mengubah status pikiran dan perasaannya, siswa diharapkan dapat mengubah tingkah lakunya, dari negatif menjadi positif. Terapi kognitif memfasilitasi individu belajar mengenali dan mengubah kesalahan. Terapi kognitif tidak hanya berkaitan dengan proses berpikir positif, tetapi berkaitan pula dengan proses berpikir secara tenang dan kritis. Sedangkan terapi tingkah laku membantu membangun hubungan antara situasi permasalahan dengan kebiasaan mereaksi permasalahan, Bush (2003). Dengan cara yang begitu, siswa dapat belajar mengubah perilaku, menenangkan pikiran dan tubuh sehingga merasa lebih baik, berpikir lebih jelas dan membantu membuat keputusan yang tepat. Pikiran negatif, perilaku negatif, dan perasaan tidak nyaman dapat membawa siswa pada permasalahan psikologis yang lebih serius, misalnya tidak bisa kosentrasi dalam belajar, suka marah-marah, mudah tersinggung, tdak percaya diri dalam belajar dan lain sebagainya. Perasaan tidak nyaman atau negatif pada dasarnya diciptakan oleh pikiran dan perilaku yang disfungsional. Oleh sebab itu dalam terapi, pikiran dan perilaku yang disfungsional harus direkonstruksi sehingga dapat kembali berfungsi secara normal.
Berdasarkan paparan tersebut, konseling perilaku-kognitif diartikan sebagai pendekatan konseling yang menitik beratkan pada restrukturisasi atau pembenahan kognitif yang menyimpang akibat kejadian yang merugikan dirinya baik secara pisik maupun psikhis. Konseling ini akan diarahkan kepada modifikasi fungsi berpikir, merasa dan bertindak, dengan menekankan otak sebagai penganalisa, mengambil keputusan, bertanya, bertindak dan memutuskan kembali. Sedangkan pendekatan pada aspek behavior diarahkan untuk membangun hubungan yang baik antara situasi permasalahan dengan kebiasaan mereaksi permasalahan. Konseling perilaku-kognitif didasarkan pada konsep mengubah pikiran dan perilaku negatif yang sangat  mempengaruhi emosi. Melalui konseling perilaku kognitif, siswa terlibat aktivitas dan partisipasi dalam latihan untuk diri mereka dengan cara membuat keputusan, penguatan diri dan strategi lain yang mengacu pada self-regulation (Matson &Ollendick, 1988).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar