Konseling Perilaku-Kognitif untuk Meningkatkan Academic Self-efficacy Siswa
Banyak
pendekatan-pendekatan yang ditawarkan ahli untuk meningkatkan rasa keberhasilan
dalam akademik siswa. Intervensi klinis dengan pendekatan kognitif-perilaku
dapat digunakan untuk mengintervensi Academic
Self-efficacy. Tujuan utama terapi kognitif-perilaku
adalah meningkatkan kesadaran individu terhadap keyakinan irasional menjadi
keyakinan yang lebih akurat, adaptif, dan berbasis realitas. Hasilnya adalah simplifikasi
atau berpikiran secara berlebihan, harapan tidak realistik, dan toleransi
terhadap frustrasi.
Sebelumnya
Ellis (1962) mengemukakan bahwa pendekatan kognitif-perilaku efektif sebagai
modus intervensi berdasarkan pengalaman praktek klinisnya. Ellis mengamati
kemajuan klien terjadi ketika perobahan kognitif klien. Menurut Kuelwin &
Rosen (1993) terapi kognitif-perilaku bersifat kolaboratif dan berbasis empiris
sehingga memungkinkan untuk (1)
merancang agenda antara klien dan terapis untuk setiap sesi pertemuan, (2)
memberikan umpan balik kepada terapis, (3) terapis dan klien bertindak sebagi
tim untuk menginvestigasi akurasi dan kesesuaian kognisi klien, dan (4)
mengumpulkan fakta empiris berdasarkan pengalaman klien di luar sesi terapi.
Konseling
perilaku-kognitif merupakan salah satu
pendekatan yang oleh sebagian ahli disebut pendekatan yang lebih integratif.
Matson & Ollendick, (1988) mendefinisikan konseling perilaku-kognitif
sebagai suatu pendekatan dalam konseling yang menerapkan sejumlah prosedur
secara spesifik dengan menggunakan kognisi sebagai bagian utama terapi. Fokus
konseling ini adalah persepsi, kepercayaan dan pikiran.
Terapi
kognitif-perilaku merupakan sebuah pendekatan yang memiliki pengaruh dari
pendekatam cognitive therapy dan behavior
therapy. Oleh sebab itu, Matson & Ollendick (1988) menegaskan terapi
kognitif-perilaku merupakan perpaduan
pendekatan dalam psikoterapi yaitu cognitive
therapy dan behavior therapy. Sejarah kognitif-perilaku tidak dapat dilepaskan
dari perkembangan teori perilaku dan beberapa model kognitif. Victor Raimy
(Meichenbaum, 1995) melacak sejarah terapi kognitif-perilaku pada zaman Yunani
Kuno dan Romawi. Filsuf Epictetus mengemukakan peranan faktor kognitif terhadap
gangguan emosional. Imanuel kant mengemukakan bahwa gangguan mental terjadi
ketika seseorang gagal mengoreksi ‘private
sense’ dengan ‘common sense’.
Teori modern menggunakan istilah ‘biased
appraisal processes, disordered construct, irrasional belief, cognitive
distortions, maladaptive coping and problem-solving skills’ untuk menjelaskan
faktor kognisi terhadap gangguan emosional dan perilaku salahsuai.
Menurut Matson
& Ollendick (1988) pendekatan ini bagian dari pendekatan behavioral
tradisional yang dikembangkan Pavlov pada awal abad ke 20-an. Pendekatan ini
diadopsi dari Watson tahun 1920 yang kemudian dikembangkan dalam penelitian
oleh ahli-ahli penelitian klinis seperti B.F. Skiner dan Hans Eysenck pada
tahun 1950-an. Selanjutnya lahirlah pendekatan perilaku-kognitif untuk
menyempurnakan teori sebelumnya dan semakin berkembang dengan dilakukannya
penelitian-penelitian oleh para ahli.
Teori
kognitif-perilaku dibangun berdasarkan asumsi, teknik-teknik dan strategi riset
umum yang menekankan pentingnya aspek kognitif untuk perubahan perilaku.
Istilah kognitif-perilaku merefleksikan pentingnya pendekatan kognitif dan perilaku untuk memahami dan membantu individu. Menurut
teori kognitif-perilaku individu yang
akan bertindak, didahului adanya proses berpikir, sebelum individu tersebut
bisa memodifikasi prilaku yang tidak adaptif guna menghasilkan perubahan
perilaku (Kendall dan Hollon dalam Bond, 2004). Untuk bisa mengubah suatu
perilaku yang tidak adaptif, individu harus memahami fenomena yang ada dalam
pengalaman kognitif dan berusaha untuk membangun perilaku adaptif dengan
mempelajari keterampilan-keterampilan yang terdapat pada terapi perlakuan.
Melalui keterampilan-keterampilan yang diajarkan, diharapkan individu itu
mengaplikasikannya dalam kehidupan sehari-hari (Meichenbaum, 1996)
Terdapat
dua teori dan riset yang berkontribusi terhadap perkembangan pendekatan
konseling kognitif-perilaku yaitu ‘cognitive
–semantic therapist’ yang dikembangkan oleh George Kelly, Albert Ellis,
Aaron Beck dan ‘learning theory’ yang
dipelopori oleh Julian Rotter, Albert bandura, Walter Mischel, Michael Mahoney,
dan Don Meichenbaum (Matson & Ollendick, 1988).
Ahli
terapis semantik menjelaskan bahwa gangguan emosional dan perilaku salahsuai
disebabkan oleh adanya keyakinan yang tidak rasional dan distorsi kognitif,
sebaliknya terapis perilaku menyatakan reaksi sosial orang lain merupakan
penentu terjadinya perilaku abnormal. Konseling kognitif perilaku memandang
secara integratif bahwa faktor pikiran, perasaan, perilaku, dan konsekuensi
lingkungan berperan terhadap perilaku abnormal (Matson & Ollendick, 1988).
Menurut
teori kognitif-perilaku academic
selff-efficacy terbentuk dari
stimulus-kognisi-respon (KSR) yang saling terkait dan membentuk semacam
jaringan SKR dalam otak manusia, di mana proses kognitif menjadi faktor penentu
dalam menjelaskan bagaimana siswa berpikir, merasa dan bertindak (Oemarjoedi,
2003). Teori perilaku-kognitif memiliki keyakinan bahwa manusia memiliki
potensi untuk menyerap pemikiran yang rasional dan irrasional, di mana pemikiran
yang irasional dapat menimbulkan gangguan emosi dan tingkah laku yang
menyimpang, maka konseling kognitif-perilaku diarahkan pada modifikasi fungsi
berfikir, merasa dan bertindak dengan menekankan peran otak dalam menganalisa,
memutuskan, bertanya, bertindak, dan memutuskan kembali. Dengan mengubah status
pikiran dan perasaannya, siswa diharapkan dapat mengubah tingkah lakunya, dari
negatif menjadi positif. Terapi kognitif memfasilitasi individu belajar
mengenali dan mengubah kesalahan. Terapi kognitif tidak hanya berkaitan dengan
proses berpikir positif, tetapi berkaitan pula dengan proses berpikir secara
tenang dan kritis. Sedangkan terapi tingkah laku membantu membangun hubungan
antara situasi permasalahan dengan kebiasaan mereaksi permasalahan, Bush
(2003). Dengan cara yang begitu, siswa dapat belajar mengubah perilaku,
menenangkan pikiran dan tubuh sehingga merasa lebih baik, berpikir lebih jelas
dan membantu membuat keputusan yang tepat. Pikiran negatif, perilaku negatif,
dan perasaan tidak nyaman dapat membawa siswa pada permasalahan psikologis yang
lebih serius, misalnya tidak bisa kosentrasi dalam belajar, suka marah-marah,
mudah tersinggung, tdak percaya diri dalam belajar dan lain sebagainya.
Perasaan tidak nyaman atau negatif pada dasarnya diciptakan oleh pikiran dan
perilaku yang disfungsional. Oleh sebab itu dalam terapi, pikiran dan perilaku
yang disfungsional harus direkonstruksi sehingga dapat kembali berfungsi secara
normal.
Berdasarkan
paparan tersebut, konseling perilaku-kognitif diartikan sebagai pendekatan
konseling yang menitik beratkan pada restrukturisasi atau pembenahan kognitif
yang menyimpang akibat kejadian yang merugikan dirinya baik secara pisik maupun
psikhis. Konseling ini akan diarahkan kepada modifikasi fungsi berpikir, merasa
dan bertindak, dengan menekankan otak sebagai penganalisa, mengambil keputusan,
bertanya, bertindak dan memutuskan kembali. Sedangkan pendekatan pada aspek
behavior diarahkan untuk membangun hubungan yang baik antara situasi
permasalahan dengan kebiasaan mereaksi permasalahan. Konseling
perilaku-kognitif didasarkan pada konsep mengubah pikiran dan perilaku negatif
yang sangat mempengaruhi emosi. Melalui
konseling perilaku kognitif, siswa terlibat aktivitas dan partisipasi dalam
latihan untuk diri mereka dengan cara membuat keputusan, penguatan diri dan
strategi lain yang mengacu pada self-regulation
(Matson &Ollendick, 1988).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar