Senin, 21 Oktober 2013

AplikasiAsmaul Husna dalam Membeningkan Kalbu Melalui Konseling


AplikasiAsmaul Husna dalam Membeningkan Kalbu Melalui Konseling

Sungguh kalbu itu akan berkarat,
sebagaimana besi berkorat oleh air.
Kajilah al-Quran dan banyak-banyaklah
berdzikir.
(H.R. Ibnu Umar)

Perilaku manusia merupakan cerminan dari kalbu yang mengatur sejak langkah hidup dan kehidupannya. Menurut al-Buruswi (t.t.), isi kalbu itu terdiri atas tujuh tahapan yaitu:

1.    as-Shudur (dada) yang menjadi sumber esensi penyerahan diri (lslam).
2.    al-Qalbu (kalbu) tempat bercokolnya mutiara iman.
3.    as-Syaghaf (puncak kecintaan) sumber rindu, cinta kasih yang menyebabkan meluap-luapnya perasaan.
4.    al-Fuad sumber keterbukaan yaqg memungkinkan terjadinya mukasyafah (membuka hubungan dengan yang Maha Esa), musyahadah (memungkinkan menyaksikan kebesaran dan keagungan Allah Swt.)
5.    at-Hub (sumber cinta kepada Allah Swt.) yang tidak ada kaitannya dengan cinta dan rindu alam.
6.    as-suwaida merupakan sumber ilmu laduni dan hikmah.
7.    Baitul lzzah (kalbu sempurna) merupakan tempat rahasia ketuhanan yang tidak tampak keluar.

Ketujuh tahapan kalbu itu akan terefleksikan dalam pribadi orang, sehingga tiap orang dapat menjadi cermin bagi sesamanya. Kekalutan dan kekusutan dirinya akan tampak pada reaksi orang kepadanya. Orang lain dapat melihat raut muka orang yang tercoreng, terluka, tulus, ikhlas, tanpa pamrih, sakit hati, iri atau cemburu.
Orang terusik dapat terlihat pada tanda-tanda refleksi kalbunya, sehingga ada orang yang segera ingin membantu sesamanya dengan berbagai cara, cara halus, cara bijak, psikologis dan filosofis.
Ali bin Abi Thalib (lihat Abdul Fatah Jalal; t.t.) memperlihatkan tahapan bantuan menjadi tiga, yaitu: (l) tahap mengetahui, agar orang tahu posisi dirinya; (2) tahap memahami, agar orang mengenali dirinya; dan (3) tahap merenung agar orang mengadakan kaji-ulang membaca huruf dan fenomena alam, tanda-tanda kekuasaan Allah, dan makna di balik berbagai gejala. Selanjutnya Ali bin Abi Thalib (al-Baqir, 20A0:72) memandang adanya dua jenis akal, yaitu, yang tertanam sejak semula dalam naluri, dan hasil dari semua yang didengar. Akal yang diperoleh melalui pendengaran tidak akan berfungsi, apabila tak ada akal yang terbawa sebelumnya.
Dengan judul Attaining Self-Regulation' a Social Cognitive Perspective, Monique Boekaerts (Ed), (2000: 13-24) mengungkapkan struktur sistem pengturan diri mencakup tiga tahap, yakni: tahap wawasan, tahap pengendalian perilaku, dan tahap refleksi diri. Ketiga tahap ini mencakup pengendalian lingkungan oleh dirinya dan juga keterampilan behavioral yang sejalan dengan konteksnya. Pengaturan diri itu merujuk pada pengembangan berfikir sendiri, perasaan dan tindakan yang dirancang terlebih dahulu.
Upaya membantu sesama menurut perspektif Islam, diarahkan pada pemungsian kalbu wahdaniyun yang terpancar dari nur ilahiah. Cahaya ilahiah itu akan mewujudkan pribadi mantap, istiqamah, halus budi, akhlak mulia, mengikuti petunjuk Ilahi serta mengembangkan fitrah manusia.
Sekiranya fitrah manusia tidak dikembangkan, lahirlah kalbu yang qasi (membantu) yang mewujudkan pribadi yang kaku, kasar, keras, kufur dan tidak taat. Apabila fitrah manusia itu tidak dikembangkan secara optimal, lahirlah pribadi lalai (ghafil) kurang sungguh beribadah, dan tidak meyakini akan kehadiran Allah Swt. Kalbu seperti ini disebut pula kalbun nasiyun.
Kalbu yang berkarat, menghitam dan penuh bintik-bintik hitam. Perlu dibeningkan. Ketika seorang shahabat bertanya tentang sara membeningkannya, Rasulullah Saw. menjawab, "Banyaklah mengkaji          al-Quran dan Dzilrullah". Hadits lain menyatakan, banyaklah ingat akan kematian".
Petunjuk ini mengandung makna bahwa mengkaji al-Quran berani mendalami isinya, mencari esensi dan hakekat yang terkandung di dalamnya. Bukankah al-Quran menyebutkan, "...dalam al-Quran terdapat obat untuk menyembuhkan kandungan kalbu. (Q.S. l0 Yunus: 57) dan ... di dalamnya (al-Quran) terdapat obat bagi manusia. (Q.S. 16 an-Nahl: 69) ... dan Kami turunkan bagimu al- Quran, yang di dalamnya terdapat obat dan rahmat bagi Kaum Mu'minin. (Q.S. l7 Bani Israil:82)."
Abdullah bin Abdul Aziz al-ldain (1424H: l4-15) merumuskan dua jalur pengembangan kesehatan psikis manusia, atau menghambat gangguan kalbu agar tidak menjadi hitam kelam: (1) al-wiqayah yaitu mencegah agar tidak terjadi gangguan kalbu (dalam istilah lain disebut pencegahan); dan    (2) al-Illaj atau upaya penyembuhan agar nur ilahiah kembali menyinari nuraninya.
Cara-cara mencegah gangguan itu di antaranya:
1)   memenuhi seluruh kewajiban yang dibebankan kepadanya, terutama melaksanakan shalat lima waktu (bagi pria, seyogianya berjamaah di Masjid, dengan khusyu dan khudlu);
2)   menghindari seluruh perbuatan ma'siat dan dosa, dan memohon ampunan serta menjauhi perbuatan yang keji, baik besar maupun kecil;
3)    mendawamkan membaca wirid al-Quran;
4)   membaca wirid pagi dan petang, serta bacaan lain berkenaan dengan momen tertentu;
5)   memperbanyak istighfar dan do'a lain; dan
6)   mencegah masuknya gangguan setan ke dalam hati.

Menurut al-Ghazali (al-Baqir, 2000: 125-142) jalan masuk setan itu berlangsung melalui:
(1)      emosi (ghadab) dan ambisi (syahwat) hati yang mampu memperlemah akal;
(2)      iri hati (hasud) dan kecinraan berlebihan (hirsh) yang menyebabkan buta dan tuli hati;
(3)      kekenyangan yang dapat menyebabkan tercabut rasa takut kepada Allah dan rasa kasihan, menimbulkan rasa malas mengerjakan ibadah, hilangnya rasa haru dari dalam hati, hilangnya kesan hikmah dan nasihat;
(4)      gemar mempercantik diri dengan pakaian mewah atau menghiasi rumah dengan perabotan mahal yang menimbulkan kesombongan, takabur, ujub dan ria;
(5)      ketamakan untuk memperoleh keuntungan dari sesame manusia, yang melahirkan riya dan tipu daya;
(6)      kebiasaan tergesa-gesa ketika mengerjakan sesuatu sebelum berfikir secara matang;
(7)      harta yang melebihi keperluan sehari-hari, sehingga membebani hidupnya; Orang yang dirasuki keinginan akan harta tidak akan merasa cukup dengan yang diperolehnya;
(8)      kebakhilan atau kekikiran akan menghalangi orang untuk berderma, malahan akan mendorong orang itu untuk memiliki barang orang lain yang bukan haknya. Ia akan dirangsang dengan penyakit takut akan kemiskinan. Kegiatan orang itu tercurah pada penumpukan h:arta yang
(9)      menggiringnya ke dalam adzab Allah Swt.;
(10)   fanatisme buta (ta'assub a'ma) terhadap madzhab dan aliran tertentu, dendam terhadap lawan, serta melecehkan dan menghina yang tidak sefaham dengannya; dan berburuk sangka kepada yang lain sehingga melahirkan lidah yang suka menggunjing orang, mengabaikan hak orang lain, berlambat-lambat menghormati orang lain, menghina dan melecehkan orang lain.
Adapun cara penyembuhan gangguan agar nur ilahiah kembali, dilakukan secara individual, disesuaikan dengan kedalaman gangguan yang dialaminya. Di antara langkahnya ialah mengidentifikasi kadar pengaruh sifat kebuasan, kehewanan, kesetanan dan rabaniyyah (Lihat al-Ghazali, 2000).
Imam al-Ghazali (t.t.) mengemukakan bahwa dalam susunan dan sosok tubuh manusia terdapat campuran sifat; sabu’iryah (kebuasan binatang), bahiniyyah (kehewanan), shaithaniyyah (kesetanan) dan rabbaniyyah (ketuhanan). Setiap manusia memiliki
kadar tertentu dari campuran sifat itu, sehingga di balik diri manusia itu terkumpul berbagai sifat rendah hingga sifat tertinggi. Sifat rakus, marah, zhalim, menindas, diimbangi dengan kemampuan tamyiz (kemampuan memilah-milah antara yang menguntungkan dan baik), dengan yang merugikan dan buruk.
Kemampuan tamyiz ini seyogianya yang dikembangkan sehingga individu mampu mengendalikan sifat buruk di bawah kebijakannya. Sekiranya orang itu berhasil memerankan sifat kebijakan, ia akan mampu berjalan di atas jalan yang lurus (shirathal mustaqim). Apabila sifat kebijakan tidak mampu menyeimbangkan sifat ghadlab (kekerasan), thama (rakus) dan sifat tayuiz, maka kalbunya terganggu.
Penyembuhan atau terapi, mengandung makna pengembalian fungsi kalbu sebagai nurani, kata hati dan sanubari. Sebelum penyembuhan, uji dulu apakah suara dan kata hati itu masih berfungsi atau tidak. Pertanyaan yang dapat diajukan antara lain:
1.    Kata hati apa yang timbul dalam diri kita sekiranya kita masuk dalam lingkungan orang yang suka membeberkan aib orang lain? (kalbu yang masih dilindungi sinar ilahiah akan berkata, "seyogianya aku larang orang itu agar berhenti mengoceh").
2.    Kata hati apa yang timbul dalam diri kita sekiranya kita masuk ke ruangan yang beresih dan harum, lalu ada orang di depan kita membuang puntung rokok? (Kata hati yang berfungsi akan berkata bahwa orang itu perlu ditegur agar turut memelihara ruangan itu).
3.    Kata hati apa yang akan timbul dalam diri kita sekiranya taman bunga yang indah dilalui oleh sapi yang digembalakan oleh pemiliknya? (Kata hati yang berfungsi akan langsung menyuruh anak penggembala itu untuk tidak lewat di taman bunga).
4.    Seandainya kita duduk dalam bus kota, dan tiba-tiba seorang ibu naik di bus yang penuh sesak itu, kata hati apa yang timbul dalam diri kita? (Kata hati yang berfungsi akan langsung menyuruh kita untuk menyerahkan tempat duduk kita kepada wanita itu).
5.    Sekiranya kita bertemu dengan orang yang sehari sebelumnya kita beberkan keaibannya, suara hati apa yang lahir di saat itu? (Kata hati yang berfungsi akan langsung menyuruh kita untuk memohon maaf kepadanya).
6.    Sekiranya kita merihat sepasang kakek dan nenek berada di suasana rumah yang ceria, dihadiri oleh anak dan cucunya, suara hati apa yang timbul pada diri kita? (Tentu saja terbayang suasana kasih sayang yang penuh bahagia serta kita pun merasakan kebahagiaan itu).
Suara hati yang berfungsi akan membisikan nada indah, penuh kasih, ingin menolong, penuh rasa maaf dan tanggung jawab yang bersifat universal, oleh siapa pun dan di mana pun.
Sebaliknya apabila suara hati tidak berfungsi, maka suasana ceria, kasih sayang, sesal, meluruskan yang ben-gkok, tidak akan muncul dalam diri kita. Dilukiskan dalim Hadits-Rasul peristiwa berikut, Seorang shahabat bertanya kepada Rasulullah, “Ya, Rasulullah. Tolong beritahukan, perbuatan apa yang dipandang buruk?"
Rasulullah menjawab: "Tanyalah tentang perbuatan yang baik!,, Shahabat itu tetap memohon agar Rasulullah menjawab pertanyaannya.
Rasulullah bersabda, "Tanyalah nuranimu. Sekiranya kata hatimu tenang, perbuatan itu memang baik. Dan sebaliknya apabila kata hatimu gelisah, perbuatan itu termasuk tidak baik".
Sehubungan dengan ungkapan Rasul itu, nurani akan berfungsi apabila mendapat sentuhan samawi yang diisyaratkan dengan ungkapan: "Apabila cahaya telah masuk ke dalam kalbu seseorang, kalbu itu akan terbuka dan menjadi lega". (al-Hadits).
Keterbukaan itu akan tampak pada perilaku orang yang mendapat sentuhan samawi ifu, yaitu, menjauhi dunia yang penuh tipu daya, kembali ke tempat abadi, serta siap menghadapi kematian. (al-Hadits).
Terdapat berbagai hambatan yang menyebabkan sinar Ilahi tidak turun pada seseorang, dan menyebabkan kalbu kita mati. Di antara tanda-tanda kematian kalbu itu ialah: “tidak pernah sedih apabila luput dari taufik Allah swt., tidak pernah menyesal apabila terpeleset pada kekeliruan."
Untuk mengembalikan fungsi kalbu, seyogianya manusia senantiasa mengawasi segala gerak dan diamnya, bicara dan tutur mulutnya, duduk dan berdirinya, hingga ia mampu melihat kembali segala yang ada, dengan mata hatinya. Seyogianya pula syahwat manusia tidak mengendalikan dirinya, akan tetapi nuraninya dapat mengendalikan syahwatnya. Menurut al-Ghazali (t.t.) syahwat akan mewujudkan keberandalan, kejahatan, keborosan, kepelitan, kemunafikan, kedurhakaan, kesia-siaan, ketamakan, egoisme, kedengkian, dendam, dan iri hati.
Selanjutnya imam al-Ghazali (t.t.) menyatakan bahwa kepatuhan akan sifat ghadlab (marah emosional) akan melahirkan sifat nekat, beringas, rendah budi, sombong, banggakan diri, tinggi hati, menghina, niat buruk dan zhalim.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar