AplikasiAsmaul
Husna dalam Membeningkan Kalbu Melalui Konseling
Sungguh kalbu itu akan berkarat,
sebagaimana besi berkorat oleh air.
Kajilah al-Quran dan banyak-banyaklah
berdzikir.
(H.R. Ibnu Umar)
Perilaku
manusia merupakan cerminan dari kalbu yang mengatur sejak langkah hidup dan
kehidupannya. Menurut al-Buruswi (t.t.), isi kalbu itu terdiri atas tujuh
tahapan yaitu:
1. as-Shudur (dada) yang menjadi sumber esensi penyerahan diri (lslam).
2. al-Qalbu (kalbu) tempat bercokolnya mutiara iman.
3. as-Syaghaf (puncak kecintaan) sumber rindu, cinta kasih yang menyebabkan
meluap-luapnya perasaan.
4. al-Fuad sumber keterbukaan yaqg memungkinkan terjadinya mukasyafah (membuka
hubungan dengan yang Maha Esa), musyahadah (memungkinkan menyaksikan kebesaran
dan keagungan Allah Swt.)
5. at-Hub (sumber cinta kepada Allah Swt.) yang tidak ada kaitannya dengan cinta
dan rindu alam.
6. as-suwaida merupakan sumber ilmu laduni dan hikmah.
7. Baitul lzzah (kalbu sempurna) merupakan tempat rahasia ketuhanan yang tidak tampak
keluar.
Ketujuh tahapan kalbu itu akan terefleksikan dalam pribadi orang, sehingga
tiap orang dapat menjadi cermin bagi sesamanya. Kekalutan dan kekusutan dirinya
akan tampak pada reaksi orang kepadanya. Orang lain dapat melihat raut muka
orang yang tercoreng, terluka, tulus, ikhlas, tanpa pamrih, sakit hati, iri
atau cemburu.
Orang terusik dapat terlihat pada tanda-tanda refleksi kalbunya, sehingga
ada orang yang segera ingin membantu sesamanya dengan berbagai cara, cara
halus, cara bijak, psikologis dan filosofis.
Ali bin Abi Thalib (lihat Abdul Fatah Jalal; t.t.) memperlihatkan tahapan
bantuan menjadi tiga, yaitu: (l) tahap mengetahui, agar orang tahu posisi
dirinya; (2) tahap memahami, agar orang mengenali dirinya; dan (3) tahap
merenung agar orang mengadakan kaji-ulang membaca huruf dan fenomena alam,
tanda-tanda kekuasaan Allah, dan makna di balik berbagai gejala. Selanjutnya Ali
bin Abi Thalib (al-Baqir, 20A0:72) memandang adanya dua jenis akal, yaitu, yang
tertanam sejak semula dalam naluri, dan hasil dari semua yang didengar. Akal
yang diperoleh melalui pendengaran tidak akan berfungsi, apabila tak ada akal
yang terbawa sebelumnya.
Dengan judul Attaining
Self-Regulation' a Social Cognitive Perspective, Monique Boekaerts (Ed),
(2000: 13-24) mengungkapkan struktur sistem pengturan diri mencakup tiga tahap,
yakni: tahap wawasan, tahap pengendalian perilaku, dan tahap refleksi diri.
Ketiga tahap ini mencakup pengendalian lingkungan oleh dirinya dan juga
keterampilan behavioral yang sejalan dengan konteksnya. Pengaturan diri itu
merujuk pada pengembangan berfikir sendiri, perasaan dan tindakan yang dirancang
terlebih dahulu.
Upaya membantu sesama menurut perspektif Islam, diarahkan pada
pemungsian kalbu wahdaniyun yang
terpancar dari nur ilahiah. Cahaya ilahiah itu akan mewujudkan pribadi mantap, istiqamah,
halus budi, akhlak mulia, mengikuti petunjuk Ilahi serta mengembangkan fitrah
manusia.
Sekiranya fitrah manusia tidak dikembangkan, lahirlah kalbu yang qasi (membantu) yang mewujudkan pribadi
yang kaku, kasar, keras, kufur dan tidak taat. Apabila fitrah manusia itu tidak
dikembangkan secara optimal, lahirlah pribadi lalai (ghafil) kurang sungguh beribadah, dan tidak meyakini akan kehadiran
Allah Swt. Kalbu seperti ini disebut pula kalbun nasiyun.
Kalbu yang berkarat, menghitam dan penuh bintik-bintik hitam. Perlu dibeningkan.
Ketika seorang shahabat bertanya tentang sara membeningkannya, Rasulullah Saw.
menjawab, "Banyaklah mengkaji al-Quran dan Dzilrullah".
Hadits lain menyatakan, banyaklah ingat akan kematian".
Petunjuk ini mengandung makna bahwa mengkaji al-Quran berani mendalami
isinya, mencari esensi dan hakekat yang terkandung di dalamnya. Bukankah
al-Quran menyebutkan, "...dalam
al-Quran terdapat obat untuk menyembuhkan kandungan kalbu. (Q.S. l0 Yunus:
57) dan ... di dalamnya (al-Quran)
terdapat obat bagi manusia. (Q.S. 16 an-Nahl: 69) ... dan Kami turunkan bagimu al- Quran, yang di dalamnya terdapat obat
dan rahmat bagi Kaum Mu'minin. (Q.S. l7 Bani Israil:82)."
Abdullah bin Abdul Aziz al-ldain (1424H: l4-15) merumuskan dua jalur
pengembangan kesehatan psikis manusia, atau menghambat gangguan kalbu agar
tidak menjadi hitam kelam: (1) al-wiqayah
yaitu mencegah agar tidak terjadi gangguan kalbu (dalam istilah lain disebut
pencegahan); dan (2) al-Illaj atau upaya penyembuhan agar nur
ilahiah kembali menyinari nuraninya.
Cara-cara mencegah gangguan itu di antaranya:
1)
memenuhi seluruh kewajiban yang dibebankan kepadanya,
terutama melaksanakan shalat lima waktu (bagi pria, seyogianya berjamaah di
Masjid, dengan khusyu dan khudlu);
2)
menghindari seluruh perbuatan ma'siat dan dosa, dan
memohon ampunan serta menjauhi perbuatan yang keji, baik besar maupun kecil;
3)
mendawamkan
membaca wirid al-Quran;
4)
membaca wirid pagi dan petang, serta bacaan lain
berkenaan dengan momen tertentu;
5)
memperbanyak istighfar dan do'a lain; dan
6)
mencegah masuknya gangguan setan ke dalam hati.
Menurut al-Ghazali (al-Baqir, 2000: 125-142) jalan masuk setan itu
berlangsung melalui:
(1)
emosi (ghadab)
dan ambisi (syahwat) hati yang mampu
memperlemah akal;
(2)
iri hati (hasud)
dan kecinraan berlebihan (hirsh) yang
menyebabkan buta dan tuli hati;
(3)
kekenyangan yang dapat menyebabkan tercabut rasa takut
kepada Allah dan rasa kasihan, menimbulkan rasa malas mengerjakan ibadah,
hilangnya rasa haru dari dalam hati, hilangnya kesan hikmah dan nasihat;
(4)
gemar mempercantik diri dengan pakaian mewah atau
menghiasi rumah dengan perabotan mahal yang menimbulkan kesombongan, takabur,
ujub dan ria;
(5)
ketamakan untuk memperoleh keuntungan dari sesame
manusia, yang melahirkan riya dan tipu daya;
(6)
kebiasaan tergesa-gesa ketika mengerjakan sesuatu sebelum
berfikir secara matang;
(7)
harta yang melebihi keperluan sehari-hari, sehingga
membebani hidupnya; Orang yang dirasuki keinginan akan harta tidak akan merasa
cukup dengan yang diperolehnya;
(8)
kebakhilan atau kekikiran akan menghalangi orang untuk
berderma, malahan akan mendorong orang itu untuk memiliki barang orang lain
yang bukan haknya. Ia akan dirangsang dengan penyakit takut akan kemiskinan.
Kegiatan orang itu tercurah pada penumpukan h:arta yang
(9)
menggiringnya ke dalam adzab Allah Swt.;
(10)
fanatisme buta (ta'assub a'ma) terhadap madzhab dan
aliran tertentu, dendam terhadap lawan, serta melecehkan dan menghina yang
tidak sefaham dengannya; dan berburuk sangka kepada yang lain sehingga
melahirkan lidah yang suka menggunjing orang, mengabaikan hak orang lain,
berlambat-lambat menghormati orang lain, menghina dan melecehkan orang lain.
Adapun cara penyembuhan gangguan agar nur ilahiah
kembali, dilakukan secara individual, disesuaikan dengan kedalaman gangguan
yang dialaminya. Di antara langkahnya ialah mengidentifikasi kadar pengaruh
sifat kebuasan, kehewanan, kesetanan dan rabaniyyah (Lihat al-Ghazali, 2000).
Imam al-Ghazali (t.t.) mengemukakan bahwa dalam susunan
dan sosok tubuh manusia terdapat campuran sifat; sabu’iryah (kebuasan binatang), bahiniyyah
(kehewanan), shaithaniyyah
(kesetanan) dan rabbaniyyah
(ketuhanan). Setiap manusia memiliki
kadar tertentu dari campuran sifat itu, sehingga di balik
diri manusia itu terkumpul berbagai sifat rendah hingga sifat tertinggi. Sifat
rakus, marah, zhalim, menindas, diimbangi dengan kemampuan tamyiz (kemampuan memilah-milah antara yang menguntungkan dan
baik), dengan yang merugikan dan buruk.
Kemampuan tamyiz
ini seyogianya yang dikembangkan sehingga individu mampu mengendalikan sifat
buruk di bawah kebijakannya. Sekiranya orang itu berhasil memerankan sifat
kebijakan, ia akan mampu berjalan di atas jalan yang lurus (shirathal mustaqim). Apabila sifat
kebijakan tidak mampu menyeimbangkan sifat ghadlab
(kekerasan), thama (rakus) dan sifat tayuiz, maka kalbunya terganggu.
Penyembuhan atau terapi, mengandung makna pengembalian
fungsi kalbu sebagai nurani, kata hati dan sanubari. Sebelum penyembuhan, uji
dulu apakah suara dan kata hati itu masih berfungsi atau tidak. Pertanyaan yang dapat
diajukan antara lain:
1. Kata hati apa yang timbul
dalam diri kita sekiranya kita masuk dalam lingkungan orang yang suka
membeberkan aib orang lain? (kalbu yang masih dilindungi sinar ilahiah akan
berkata, "seyogianya aku larang orang itu agar berhenti mengoceh").
2. Kata hati apa yang timbul
dalam diri kita sekiranya kita masuk ke ruangan yang beresih dan harum, lalu
ada orang di depan kita membuang puntung rokok? (Kata hati yang berfungsi akan berkata
bahwa orang itu perlu ditegur agar turut memelihara ruangan itu).
3. Kata hati apa yang akan
timbul dalam diri kita sekiranya taman bunga yang indah dilalui oleh sapi yang
digembalakan oleh pemiliknya? (Kata hati yang berfungsi akan langsung menyuruh
anak penggembala itu untuk tidak lewat di taman bunga).
4. Seandainya kita duduk dalam
bus kota, dan
tiba-tiba seorang ibu naik di bus yang penuh sesak itu, kata hati apa yang
timbul dalam diri kita? (Kata hati yang berfungsi akan langsung menyuruh kita
untuk menyerahkan tempat duduk kita kepada wanita itu).
5. Sekiranya kita bertemu
dengan orang yang sehari sebelumnya kita beberkan keaibannya, suara hati apa
yang lahir di saat itu? (Kata hati yang berfungsi akan langsung menyuruh kita
untuk memohon maaf kepadanya).
6. Sekiranya kita merihat
sepasang kakek dan nenek berada di suasana rumah yang ceria, dihadiri oleh anak
dan cucunya, suara hati apa yang timbul pada diri kita? (Tentu saja terbayang
suasana kasih sayang yang penuh bahagia serta kita pun merasakan kebahagiaan
itu).
Suara hati yang berfungsi akan membisikan nada indah, penuh kasih, ingin
menolong, penuh rasa maaf dan tanggung jawab yang bersifat universal, oleh
siapa pun dan di mana pun.
Sebaliknya apabila suara hati tidak berfungsi, maka suasana ceria, kasih
sayang, sesal, meluruskan yang ben-gkok, tidak akan muncul dalam diri kita.
Dilukiskan dalim Hadits-Rasul peristiwa berikut, Seorang shahabat bertanya
kepada Rasulullah, “Ya, Rasulullah. Tolong beritahukan, perbuatan apa yang
dipandang buruk?"
Rasulullah
menjawab: "Tanyalah tentang perbuatan yang baik!,, Shahabat itu tetap
memohon agar Rasulullah menjawab pertanyaannya.
Rasulullah
bersabda, "Tanyalah nuranimu. Sekiranya kata hatimu tenang, perbuatan itu
memang baik. Dan sebaliknya apabila kata hatimu gelisah, perbuatan itu termasuk tidak
baik".
Sehubungan dengan ungkapan Rasul itu, nurani akan berfungsi apabila
mendapat sentuhan samawi yang diisyaratkan dengan ungkapan: "Apabila
cahaya telah masuk ke dalam kalbu seseorang, kalbu itu akan terbuka dan menjadi
lega". (al-Hadits).
Keterbukaan itu akan tampak pada perilaku orang yang mendapat sentuhan
samawi ifu, yaitu, menjauhi dunia yang penuh tipu daya, kembali ke tempat
abadi, serta siap menghadapi kematian. (al-Hadits).
Terdapat berbagai hambatan yang menyebabkan sinar Ilahi tidak turun pada
seseorang, dan menyebabkan kalbu kita mati. Di antara tanda-tanda kematian
kalbu itu ialah: “tidak pernah sedih apabila
luput dari taufik Allah swt., tidak pernah menyesal apabila terpeleset pada kekeliruan."
Untuk mengembalikan fungsi kalbu, seyogianya manusia senantiasa
mengawasi segala gerak dan diamnya, bicara dan tutur mulutnya, duduk dan
berdirinya, hingga ia mampu melihat kembali segala yang ada, dengan mata
hatinya. Seyogianya pula syahwat manusia tidak mengendalikan dirinya, akan
tetapi nuraninya dapat mengendalikan syahwatnya. Menurut al-Ghazali (t.t.)
syahwat akan mewujudkan keberandalan, kejahatan, keborosan, kepelitan, kemunafikan,
kedurhakaan, kesia-siaan, ketamakan, egoisme, kedengkian, dendam, dan iri hati.
Selanjutnya imam al-Ghazali (t.t.) menyatakan bahwa kepatuhan akan sifat
ghadlab (marah emosional) akan melahirkan sifat nekat, beringas, rendah budi,
sombong, banggakan diri, tinggi hati, menghina, niat buruk dan zhalim.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar