Kamis, 31 Oktober 2013

Layanan Informasi, DAHSATNYA SHALAT DHUHA


DAHSATNYA SHALAT DHUHA

           Dhuha ialah salah satu waktu ketika matahari sedang terbit pada pagi hari atau disaat matahari sedang naik.Shalat dhuha ialah shalat sunnah yang dilakukan ketika matahari sedang terbit sampai menjelang masuk waktu dzuhur.Shalat dhuha itupun adalah pengalaman hidup manusia yang mesti di awali dengan keyakinan penuh bahwa ibadah ini sangat bermanfaat bagi peningkatan pribadi manusia yang menggambarkan kerendahan hati dan kesejukkan hati.Dari sinilah akan muncul kejujuran,kebenaran dan kebaikan ketika manusia menjalani hidup ini dengan memperbanyak ibadah dan bertakwa kepadaNYA.
            Andai manusia tahu akan azal yang menjemput,ketakutan dan kegamangan hati yang berdampak pada meningkatnya intensitas ibadah kepaNYA.Jadi tahap awal mengubah diri menjadi insan yang dimuliakan Allah dengan menjauhi laranganNYA dan selalu melaksanakan perintahNYA,misalnya dengan melaksanakan shalat wajib lima waktu juga shalat sunnah yaitu shalat dhuha.MemujaNYA lewat shalat dhuha sebetulnya jika diresapi,dihayati akan membangun kekuatan hidup.
             Rahasia kekuatan yang terpendam pada sebuah ibadah adalah terdapatnya daya gugah baru.Dengan ibadah inilah manusia mengalami perubahan yang sangat berarti.Keyakinan yang dibentuk oleh otak,perasaan dan hati manusia adalah kekuatan yang berfungsi bagaikan benteng pertahanan.Shalat dhuha adalah landasan awal bagi aktivitas manusia di dunia yang berlandaskan pada ketulusan,kejujuran,kebenaran dan di hiasi oleh keindahan rasa serta batin.
           Manusia dibekali kecerdasan yang dilandasi dengan keyakinan untuk mampu mengelola dan mengatur perasaannya sehingga muncul ketenangan ketika menghadapi sesuatu hal.Itulah kecerdasan diri yang mandiri,sebuah kecerdasan spiritual yang tujuannya agar manusia berda di sisiNYA.
             

Selasa, 29 Oktober 2013

Konseling Perilaku-Kognitif untuk Meningkatkan Academic Self-efficacy Siswa


       Konseling Perilaku-Kognitif untuk Meningkatkan Academic Self-efficacy Siswa

Banyak pendekatan-pendekatan yang ditawarkan ahli untuk meningkatkan rasa keberhasilan dalam akademik siswa. Intervensi klinis dengan pendekatan kognitif-perilaku dapat digunakan untuk mengintervensi Academic Self-efficacy. Tujuan utama terapi kognitif-perilaku adalah meningkatkan kesadaran individu terhadap keyakinan irasional menjadi keyakinan yang lebih akurat, adaptif, dan berbasis realitas. Hasilnya adalah simplifikasi atau berpikiran secara berlebihan, harapan tidak realistik, dan toleransi terhadap frustrasi.
Sebelumnya Ellis (1962) mengemukakan bahwa pendekatan kognitif-perilaku efektif sebagai modus intervensi berdasarkan pengalaman praktek klinisnya. Ellis mengamati kemajuan klien terjadi ketika perobahan kognitif klien. Menurut Kuelwin & Rosen (1993) terapi kognitif-perilaku bersifat kolaboratif dan berbasis empiris sehingga memungkinkan untuk  (1) merancang agenda antara klien dan terapis untuk setiap sesi pertemuan, (2) memberikan umpan balik kepada terapis, (3) terapis dan klien bertindak sebagi tim untuk menginvestigasi akurasi dan kesesuaian kognisi klien, dan (4) mengumpulkan fakta empiris berdasarkan pengalaman klien di luar sesi terapi.
Konseling perilaku-kognitif  merupakan salah satu pendekatan yang oleh sebagian ahli disebut pendekatan yang lebih integratif. Matson & Ollendick, (1988) mendefinisikan konseling perilaku-kognitif sebagai suatu pendekatan dalam konseling yang menerapkan sejumlah prosedur secara spesifik dengan menggunakan kognisi sebagai bagian utama terapi. Fokus konseling ini adalah persepsi, kepercayaan dan pikiran.
Terapi kognitif-perilaku merupakan sebuah pendekatan yang memiliki pengaruh dari pendekatam cognitive therapy dan  behavior therapy. Oleh sebab itu, Matson & Ollendick (1988) menegaskan terapi kognitif-perilaku  merupakan perpaduan pendekatan dalam psikoterapi yaitu cognitive therapy dan  behavior therapy. Sejarah kognitif-perilaku tidak dapat dilepaskan dari perkembangan teori perilaku dan beberapa model kognitif. Victor Raimy (Meichenbaum, 1995) melacak sejarah terapi kognitif-perilaku pada zaman Yunani Kuno dan Romawi. Filsuf Epictetus mengemukakan peranan faktor kognitif terhadap gangguan emosional. Imanuel kant mengemukakan bahwa gangguan mental terjadi ketika seseorang gagal mengoreksi ‘private sense’ dengan ‘common sense’. Teori modern menggunakan istilah ‘biased appraisal processes, disordered construct, irrasional belief, cognitive distortions, maladaptive coping and problem-solving skills’ untuk menjelaskan faktor kognisi terhadap gangguan emosional dan perilaku salahsuai.
Menurut Matson & Ollendick (1988) pendekatan ini bagian dari pendekatan behavioral tradisional yang dikembangkan Pavlov pada awal abad ke 20-an. Pendekatan ini diadopsi dari Watson tahun 1920 yang kemudian dikembangkan dalam penelitian oleh ahli-ahli penelitian klinis seperti B.F. Skiner dan Hans Eysenck pada tahun 1950-an. Selanjutnya lahirlah pendekatan perilaku-kognitif untuk menyempurnakan teori sebelumnya dan semakin berkembang dengan dilakukannya penelitian-penelitian oleh para ahli.
Teori kognitif-perilaku dibangun berdasarkan asumsi, teknik-teknik dan strategi riset umum yang menekankan pentingnya aspek kognitif untuk perubahan perilaku. Istilah kognitif-perilaku merefleksikan pentingnya pendekatan  kognitif dan perilaku  untuk memahami dan membantu individu. Menurut teori kognitif-perilaku  individu yang akan bertindak, didahului adanya proses berpikir, sebelum individu tersebut bisa memodifikasi prilaku yang tidak adaptif guna menghasilkan perubahan perilaku (Kendall dan Hollon dalam Bond, 2004). Untuk bisa mengubah suatu perilaku yang tidak adaptif, individu harus memahami fenomena yang ada dalam pengalaman kognitif dan berusaha untuk membangun perilaku adaptif dengan mempelajari keterampilan-keterampilan yang terdapat pada terapi perlakuan. Melalui keterampilan-keterampilan yang diajarkan, diharapkan individu itu mengaplikasikannya dalam kehidupan sehari-hari (Meichenbaum, 1996)
Terdapat dua teori dan riset yang berkontribusi terhadap perkembangan pendekatan konseling kognitif-perilaku yaitu ‘cognitive –semantic therapist’ yang dikembangkan oleh George Kelly, Albert Ellis, Aaron Beck dan ‘learning theory’ yang dipelopori oleh Julian Rotter, Albert bandura, Walter Mischel, Michael Mahoney, dan Don Meichenbaum (Matson & Ollendick, 1988).
Ahli terapis semantik menjelaskan bahwa gangguan emosional dan perilaku salahsuai disebabkan oleh adanya keyakinan yang tidak rasional dan distorsi kognitif, sebaliknya terapis perilaku menyatakan reaksi sosial orang lain merupakan penentu terjadinya perilaku abnormal. Konseling kognitif perilaku memandang secara integratif bahwa faktor pikiran, perasaan, perilaku, dan konsekuensi lingkungan berperan terhadap perilaku abnormal (Matson & Ollendick, 1988).
Menurut teori kognitif-perilaku academic selff-efficacy terbentuk dari  stimulus-kognisi-respon (KSR) yang saling terkait dan membentuk semacam jaringan SKR dalam otak manusia, di mana proses kognitif menjadi faktor penentu dalam menjelaskan bagaimana siswa berpikir, merasa dan bertindak (Oemarjoedi, 2003). Teori perilaku-kognitif memiliki keyakinan bahwa manusia memiliki potensi untuk menyerap pemikiran yang rasional dan irrasional, di mana pemikiran yang irasional dapat menimbulkan gangguan emosi dan tingkah laku yang menyimpang, maka konseling kognitif-perilaku diarahkan pada modifikasi fungsi berfikir, merasa dan bertindak dengan menekankan peran otak dalam menganalisa, memutuskan, bertanya, bertindak, dan memutuskan kembali. Dengan mengubah status pikiran dan perasaannya, siswa diharapkan dapat mengubah tingkah lakunya, dari negatif menjadi positif. Terapi kognitif memfasilitasi individu belajar mengenali dan mengubah kesalahan. Terapi kognitif tidak hanya berkaitan dengan proses berpikir positif, tetapi berkaitan pula dengan proses berpikir secara tenang dan kritis. Sedangkan terapi tingkah laku membantu membangun hubungan antara situasi permasalahan dengan kebiasaan mereaksi permasalahan, Bush (2003). Dengan cara yang begitu, siswa dapat belajar mengubah perilaku, menenangkan pikiran dan tubuh sehingga merasa lebih baik, berpikir lebih jelas dan membantu membuat keputusan yang tepat. Pikiran negatif, perilaku negatif, dan perasaan tidak nyaman dapat membawa siswa pada permasalahan psikologis yang lebih serius, misalnya tidak bisa kosentrasi dalam belajar, suka marah-marah, mudah tersinggung, tdak percaya diri dalam belajar dan lain sebagainya. Perasaan tidak nyaman atau negatif pada dasarnya diciptakan oleh pikiran dan perilaku yang disfungsional. Oleh sebab itu dalam terapi, pikiran dan perilaku yang disfungsional harus direkonstruksi sehingga dapat kembali berfungsi secara normal.
Berdasarkan paparan tersebut, konseling perilaku-kognitif diartikan sebagai pendekatan konseling yang menitik beratkan pada restrukturisasi atau pembenahan kognitif yang menyimpang akibat kejadian yang merugikan dirinya baik secara pisik maupun psikhis. Konseling ini akan diarahkan kepada modifikasi fungsi berpikir, merasa dan bertindak, dengan menekankan otak sebagai penganalisa, mengambil keputusan, bertanya, bertindak dan memutuskan kembali. Sedangkan pendekatan pada aspek behavior diarahkan untuk membangun hubungan yang baik antara situasi permasalahan dengan kebiasaan mereaksi permasalahan. Konseling perilaku-kognitif didasarkan pada konsep mengubah pikiran dan perilaku negatif yang sangat  mempengaruhi emosi. Melalui konseling perilaku kognitif, siswa terlibat aktivitas dan partisipasi dalam latihan untuk diri mereka dengan cara membuat keputusan, penguatan diri dan strategi lain yang mengacu pada self-regulation (Matson &Ollendick, 1988).

Senin, 28 Oktober 2013

APA, MENGAPA DAN BAGAIMANA SOFT SKILL DAPAT MENINGKATKAN POTENSI ANAK


APA, MENGAPA DAN BAGAIMANA SOFT SKILL DAPAT MENINGKATKAN POTENSI ANAK

Disarikan oleh : Dr. SUKO BUDIONO,M.Pd.,Kons
                                                 
                                                 



Mengapa ?

Dunia kerja percaya bahwa sumber daya manusia yang unggul adalah mereka yang tidak hanya memiliki kemahiran hard skill saja tetapi juga piawai dalam aspek soft skillnya. Dunia pendidikanpun mengungkapkan bahwa berdasarkan penelitian di Harvard University Amerika Serikat ternyata kesuksesan seseorang tidak ditentukan semata-mata oleh pengetahuan dan kemampuan teknis (hard skill) saja, tetapi lebih oleh kemampuan mengelola diri dan orang lain (soft skill). Penelitian ini mengungkapkan, kesuksesan hanya ditentukan sekitar 20% oleh hard skill dan sisanya 80% oleh soft skill.

Adalah suatu realita bahwa pendidikan di Indonesia lebih memberikan porsi yang lebih besar untuk muatan hard skill, bahkan bisa dikatakan lebih berorientasi pada pembelajaran hard skill saja. Lalu seberapa besar semestinya muatan soft skill dalam kurikulum pendidikan?, kalau mengingat bahwa sebenarnya penentu kesuksesan seseorang itu lebih disebabkan oleh unsur soft skillnya.

Jika berkaca pada realita di atas, pendidikan soft skill tentu menjadi kebutuhan urgen dalam dunia pendidikan. Namun untuk mengubah kurikulum juga bukan hal yang mudah. Pendidik seharusnya memberikan muatan-muatan pendidikan soft skill pada proses pembelajarannya. Sayangnya, tidak semua pendidik mampu memahami dan menerapkannya. Lalu siapa yang harus melakukannya? Pentingnya penerapan pendidikan soft skill idealnya bukan saja hanya untuk anak didik saja, tetapi juga bagi pendidik.


Apa ?

Konsep tentang soft skill sebenarnya merupakan pengembangan dari konsep yang selama ini dikenal dengan istilah kecerdasan emosional (emotional intelligence). Soft skill sendiri diartikan sebagai kemampuan diluar kemampuan teknis dan akademis, yang lebih mengutamakan kemampuan intra dan interpersonal.

Secara garis besar soft skill bisa digolongkan ke dalam dua kategori : intrapersonal dan interpersonal skill. Intrapersonal skill mencakup : self awareness (self confident, self assessment, trait & preference, emotional awareness) dan self skill ( improvement, self control, trust, worthiness, time/source management, proactivity, conscience). Sedangkan interpersonal skill mencakup social awareness (political awareness, developing others, leveraging diversity, service orientation, empathy dan social skill (leadership,influence, communication, conflict management, cooperation, team work, synergy)


Pada proses rekrutasi karyawan, kompetensi teknis dan akademis (hard skill) lebih mudah diseleksi. Kompetensi ini dapat langsung dilihat pada daftar riwayat hidup, pengalaman kerja, indeks prestasi dan ketrampilan yang dikuasai. Sedangkan untuk soft skill biasanya dievaluasi oleh psikolog melalui psikotes dan wawancara mendalam. Interpretasi hasil psikotes, meskipun tidak dijamin 100% benar namun sangat membantu perusahaan dalam menempatkan ‘the right person in the right place’.

Hampir semua perusahaan dewasa ini mensyaratkan adanya kombinasi yang sesuai antara hard skill dan soft skill, apapun posisi karyawannya. Di kalangan para praktisi SDM, pendekatan ala hard skill saja kini sudah ditinggalkan. Percuma jika hard skill oke, tetapi soft skillnya buruk. Hal ini bisa dilihat pada iklan-iklan lowongan kerja berbagai perusahaan yang juga mensyaratkan kemampuan soft skill, seperi team work, kemampuan komunikasi, dan interpersonal relationship, dalam job requirementnya. Saat rekrutasi karyawan, perusahaan cenderung memilih calon yang memiliki kepribadian lebih baik meskipun hard skillnya lebih rendah. Alasannya sederhana : memberikan pelatihan ketrampilan jauh lebih mudah daripada pembentukan karakter. Bahkan kemudian muncul tren dalam strategi rekrutasi â€Å¾ Recruit for Attitude, Train for Skillâ€Å“.

Hal tersebut menunjukkan bahwa : hard skill merupakan faktor penting dalam bekerja, namun keberhasilan seseorang dalam bekerja biasanya lebih ditentukan oleh soft skillnya yang baik.
Psikolog kawakan, David McClelland bahkan berani berkata bahwa faktor utama keberhasilan para eksekutif muda dunia adalah kepercayaan diri, daya adaptasi, kepemimpinan dan kemampuan mempengaruhi orang lain. Yang tak lain dan tak bukan merupakan soft skill.


Bagaimana ?

Para ahli manajemen percaya bahwa bila ada dua orang dengan bekal hard skill yang sama, maka yang akan menang dan sukses di masa depan adalah dia yang memiliki soft skill lebih baik. Mereka adalah benar-benar sumber daya manusia unggul, yang tidak hanya semata memiliki hard skill baik tetapi juga didukung oleh soft skill yang tangguh.

Pada posisi bawah, seorang karyawan tidak banyak menghadapai masalah yang berkaitan dengan soft skill. Masalah soft skill biasanya menjadi lebih kompleks ketika seseorang berada di posisi manajerial atau ketika dia harus berinteraksi dengan banyak orang. Semakin tinggi posisi manajerial seseorang di dalam piramida organisasi, maka soft skill menjadi semakin penting baginya. Pada posisi ini dia akan dituntut untuk berinteraksi dan mengelola berbagai orang dengan berbagai karakter kepribadian. Saat itulah kecerdasan emosionalnya diuji.

Umumnya kelemahan dibidang soft skill berupa karakter yang melekat pada diri seseorang. Butuh usaha keras untuk mengubahnya. Namun demikian soft skill bukan sesuatu yang stagnan. Kemampuan ini bisa diasah dan ditingkatkan seiring dengan pengalaman kerja. Ada banyak cara meningkatkan soft skill. Salah satunya melalui learning by doing. Selain itu soft skill juga bisa diasah dan ditingkatkan dengan cara mengikuti pelatihan-pelatihan maupun seminar-seminar manajemen. Meskipun, satu cara ampuh untuk meningkatkan soft skill adalah dengan berinteraksi dan melakukan aktivitas dengan orang lain.
Atribut soft skill sebenarnya dimiliki oleh setiap orang, tetapi dalam jumlah dan kadar yang berbeda-beda. Atribut tersebut dapat berubah jika yang bersangkutan mau mengubahnya. Atribut ini juga dapat dikembangkan menjadi karakter seseorang. Bagaimana mengubah atau mengembangkannya? Tidak lain tidak bukan, harus diasah dan dipraktekkan oleh setiap individu yang belajar atau ingin mengembangkannya. Salah satu ajang yang cukup baik untuk mengembangkan soft skill adalah melalui pembelajaran dengan segala aktivitasnya dan lembaga kesiswaan.

Soft skill merupakan kemampuan khusus, diantaranya meliputi social interaction, ketrampilan teknis dan managerial. Kemampuan ini adalah salah satu hal yang harus dimiliki tiap siswa dalam memasuki dunia kerja. Seperti diungkapkan Nasution (2006) dalam seminar soft skill ”Kunci Menuju Sukses” yang disenggarakan di ITS. Hakim memberikan gambaran mengenai persentase kemampuan seorang siswa yang diperoleh dari kampus mereka. Berdasarkan data yang diadopsi dari Havard School of Bisnis, kemampuan dan keterampilan yang diberikan di bangku pembelajaran, 90 persen adalah kemampuan teknis dan sisanya soft skill. Padahal, yang nantinya diperlukan untuk menghadapi dunia kerja yaitu hanya sekitar 15 persen kemampuan hard skill. Dari data tersebut, lanjutnya, dapat menarik benang merah bahwa dalam memasuki dunia kerja soft skill-lah yang mempunyai peran yang lebih dominan.

Untuk mendiseminasikan soft skill pada para siswa, faktor yang sangat berpengaruh adalah dimulai dari guru. Maka, Ichsan yang juga turut merumuskan pengembangan soft skill di ITB, mendukung pelaksanaan pelatihan bagi para guru supaya mengerti lebih jauh tentang soft skill. Menurutnya, guru harus bisa jadi living example. Dari mulai datang tepat waktu, mengoreksi tugas, dan sebagainya. Bukan apa-apa, kemampuan presentasi dan menulis siswa masih banyak yang belum bagus. Guru juga harus bisa melatih siswa supaya asertif, supaya berani membicarakan ide. Fenomena siswa menyontek juga jangan dianggap biasa, ini masuk faktor kejujuran dan etika dalam soft skill. Lihat di Indonesia, korupsi begitu menjamur, karena orang sudah terbiasa tidak jujur sejak masa sekolah.

Soft skill yang diberikan kepada para siswa dapat diintegrasikan dengan materi pembelajaran. Menurut Saillah (2007), materi soft skill yang perlu dikembangkan kepada para siswa, tidak lain adalah penanaman sikap jujur, kemampuan berkomunikasi, dan komitmen. Untuk mengembangkan soft skill dengan pembelajaran, perlu dilakukan perencanaan yang melibatkan para guru, siswa, alumni, dan dunia kerja, untuk mengidentifikasi pengembangan soft skill yang relevan.

Tentu saja pengidentifikasian tersebut bukan sesuatu yang “hitam-putih”, tetapi lebih merupakan kesepakatan. Dengan asumsi semua guru memahami betul “isi” pembelajaran yang dibina dan “memahami” konsep soft skill beserta komponen-komponennya, maka pengisian akan berlangung objektif dan cermat. Dengan cara itu setiap guru mengetahui komponen soft skill apa yang harus dikembangkan ketika mengajar.

Hard skill dapat dinilai dari technical test atau practical test. Bagaimana untuk menilai soft skill siswa? Evaluasi dengan kertas dan pensil dengan jawaban tunggal (konvergen) tidak cukup. Perlu dilengkapi dengan model soal yang divergen dengan jawaban beragam. Ketika siswa mengidentifikasi informasi, sangat mungkin hasilnya beragam dan semuanya benar. Demikian pula ketika siswa menyampaikan pendapat. Komponen kesadaran diri juga lebih dekat dengan ranah afektif, sehingga evaluasinya tidak dapat hanya dengan tes. Diperlukan format observasi guna mengetahui apakah siswa memang sudah menghayati yang direpresentasikan dalam tindakan keseharian. Tes kinerja dan lembar observasi juga diperlukan untuk mengetahui kinerja siswa dalam mengerjakan tugas/tes maupun perilaku keseharian. Substansi ujian sebaiknya dikaitkan dengan masalah nyata, sehingga dapat menjadi bentuk authentic evaluation paling tidak berupa shadow authentic evaluation yang bersifat pemecahan masalah (problem based).

Cara lain untuk menilai soft skill yang dimiliki oleh siswa dapat dilakukan dengan menggunakan teknik wawancara yang mendalam dan menyeluruh dengan pendekatan behavioral interview. Dengan behavioral interview, diharapkan siswa lulus tidak hanya memiliki hard skill namun juga didukung oleh soft skill yang baik.
Harus disadari pendidikan di negeri ini masih berorentasi pada pendidikan berbasis hard skill (keterampilan teknis) yang lebih bersifat mengembangkan intelligence quotient (IQ)
, namun kurang mengembangkan kemampuan soft skill yang tertuang dalam emotional intelligence (EQ) dan spiritual intelligence (SQ).
Lihat saja kurikulum dalam pembelajaran diberbagai sekolah bahkan perguruan tinggi lebih menekankan pada perolehan nilai hasil ulangan maupun nilai hasil ujian. Banyak Guru/Dosen yang memiliki persepsi bahwa peserta didik yang memiliki kompetensi yang baik adalah memiliki nilai hasil ulangan/ujian yang tinggi. Maka tak heran Ujian Nasional (UN) sering dijadikan acuan dalam keberhasilan siswa. Padahal belum tentu benar.
Seiring perkembangan jaman, pendidikan yang hanya berbasiskan hard skill yaitu menghasilkan lulusan yang hanya memiliki prestasi dalam akademis, kini tak relevan lagi. Sekarang pembelajaran juga harus berbasis pada pengembangan soft skill (interaksi sosial) sebab ini sangat penting dalam pembentukan karakter anak bangsa sehingga mampu bersaing, beretika, bermoral, sopan santun dan berinteraksi dengan masyarakat.
Pendidikan soft skills bertumpu pada pembinaan mentalitas agar siswa dapat menyesuaikan diri dengan realitas kehidupan. Kesuksesan seseorang tidak ditentukan semata-mata oleh pengetahuan dan keterampilan teknis (hard skill) saja, tetapi juga oleh keterampilan mengelola diri dan orang lain (soft skill). Berdasarkan penelitian di Harvard University Amerika Serikat ternyata kesuksesan seseorang tidak ditentukan semata-mata oleh pengetahuan dan kemampuan teknis (hard skill) saja, tetapi lebih oleh kemampuan mengelola diri dan orang lain (soft skill).
Penelitian ini mengungkapkan, kesuksesan hanya ditentukan sekitar 20 persen oleh hard skill dan sisanya 80 persen oleh soft skill. Bahkan orang-orang tersukses di dunia bisa berhasil dikarenakan lebih banyak didukung kemampuan soft skill daripada hard skill.
Apa itu “Soft Skill”?
Sebenarnya dalam kurikulum KTSP berbasis kompetensi jelas dituntut muatan soft skill. Namun penerapannya tidaklah mudah sebab banyak tenaga pendidik tak paham apa itu soft skill dan bagaimana penerapannya ? Soft skill merupakan bagian ketrampilan dari seseorang yang lebih bersifat pada kehalusan atau sensitifitas perasaan seseorang terhadap lingkungan di sekitarnya. Dikarenakan soft skill lebih mengarah kepada ketrampilan psikologis maka dampak yang diakibatkan lebih tidak kasat mata namun tetap bisa dirasakan.
Akibat yang bisa dirasakan adalah perilaku sopan, disiplin, keteguhan hati, kemampuan kerja sama, membantu orang lain dan lainnya. Keabstrakan kondisi tersebut mengakibatkan soft skill tidak mampu dievaluasi secara tekstual karena indikator-indikator soft skill lebih mengarah pada proses eksistensi seseorang dalam kehidupannya. Pengembangan soft skill yang dimiliki oleh setiap orang tidak sama sehingga mengakibatkan tingkatan soft skill yang dimiliki masing-masing individu juga berbeda.
Penerapan dan Membentuk Karakter
Keterpurukan mental dan moralitas sebagian pemimpin atau generasi bangsa ini dikarenakan kurangnya pendidikan soft skill. Adanya korupsi, narkoba, sek bebas, ugal-ugalan dan sebagainya merupakan akibat dari sedikitnya sentuhan atau pengembangan terhadap EQ dan SQ yang menjadi bagian soft skill. Pembelajaran berbasis soft skill sangat berperan membentuk karakter peserta didik dan ini akan terbawa hingga terjun berinteraksi kedalam masyarakat.
Melihat sangat pentingnya soft skill, maka sudah menjadi kewajiban Guru/Dosen mulai menerapkan pendidikan soft skill. Pendidikan soft skill tidak seharusnya melalui satu mata pelajaran khusus saja, melainkan diintegrasikan melalui semua mata pelajaran yang sudah ada atau dengan menggunakan strategi pembelajaran yang berpusat pada siswa. Misalnya; pembelajaran kontekstual adalah konsep belajar yang membantu guru mengaitkan antara materi yang diajarkan dengan situasi dunia nyata siswa.
Kemudian, mendorong siswa membuat hubungan antara pengetahuan yang dimiliki dengan penerapan dalam kehidupan sehari-hari dengan melibatkan komponen utama pembelajaran. Yaitu, konstruktivisme, menemukan, bertanya, masyarakat belajar, pemodelan, refleksi dan penilaian yang sebenarnya. Komponen tersebut dapat diterapkan dalam kelas maupun diluar kelas dengan beberapa pendekatan pengajaran yaitu; Pengajaran autentik, Belajar berbasis layanan, Pengajaran berbasis Inquiri, Belajar berbasis masalah, Belajar berbasis proyek/tugas terstruktur, Belajar berbasis kerja dan Belajar kooperatif .
Dengan diterapkannya pendidikan soft skill secara otomatis akan mendorong siswa berkemauan belajar, bekerjasama, berkomunikasi, kreatif, berpikir kritis, memecahkan masalah, memimpin, mengembangkan diri, saling berinteraksi serta keahlian lainnya. Secara perlahan tapi pasti akan membentuk karakter siswa kearah yang lebih positif.
Tuntutan Pasar Kerja
Sekolah tinggi-tinggi selain untuk memperoleh pendidikan, wawasan, pengetahuan, menciptakan lapangan kerja dan juga untuk mendapatkan pekerjaan yang lebih baik. Jadi tidak hanya pendidikan hard skill yang dibutuhkan, justru harus diimbangi dengan bekal soft skill. Banyak perusahaan atau pengguna tenaga lulusan perguruan tinggi yang mengeluhkan karena mutu lulusan lebih mengandalkan kemampuan nilai akademis yang tinggi (hard skill) daripada soft skill.
Alhasil dalam bekerja mereka tidak tangguh, bertabiat seperti kutu loncat, tidak dapat bekerja sama, cepat bosan, kurang jujur, tidak memiliki integritas, kurang rasa humor dan tak bisa berinteraksi dengan orang lain. Sepertinya, apa yang diberikan di bangku kuliah/sekolah tidak lagi sesuai dengan apa yang dibutuhkan di lapangan kerja. Sebagian besar mata kuliah yang diajarkan, bisa dibilang berupa keterampilan keras (hard skill). Padahal, banyak bukti yang menunjukkan bahwa penentu kesuksesan justru keahlian yang tergolong lunak (soft skill).
Ketidaksinerjian antara hard skill dan soft skill, harus segera diatasi, antara lain dengan memberikan bobot yang lebih kepada pengembangan soft skill. Para pendidik baik di sekolah dan terlebih-lebih pada pendidikan tinggi, diharapkan mengembangkan soft skill, baik melalui intrakurikulum maupun kegiatan ekstrakurikuler.
Sehingga akan tercipta lulusan yang tangguh dalam hard skill sekaligus soft skill. Jika tidak, lulusan perguruan tinggi akan semakin banyak yang menganggur karena tak sesuai dengan kebutuhan pasar. Percuma banyak lulusan dari berbagai disiplin ilmu yang di hasilkan tiap tahun dari setiap jenjang pendidikan, namun belum mampu memberikan kontribusi yang berarti.
Saatnya Guru, Dosen maupun tenaga pendidik menerapkan pendidikan/pembelajaran berbasis hard skill dan soft skill yang mencakup pengembangan IQ, EQ dan SQ. Hal ini sangat penting dan mendesak sebab di negara ini banyak orang yang pintar tapi sebagian kerjanya hanya untuk mintar-mintari yang lain dan membodohi rakyat. Dengan diterapkannya hard skill dan soft skill kelak akan menghasilkan generasi yang cerdas, jujur, berakhlak mulia, bermoral, beriman, bertakwa, berbudi pekerti, beretika, sopan santun dan peduli terhadap sesama manusia maupun lingkungan.
Inilah formula yang tepat dalam menghasilkan karakter bangsa yang bermartabat ditengah terpuruknya moralitas bangsa ini. Secara perlahan tapi pasti karakter budaya koruptif akan terkikis. Alangkah bahagianya dan maju jika bangsa ini dipimpin, diisi oleh orang-orang yang memiliki kecerdasan hard skill (IQ) dan soft skill (EQ dan SQ). Mari kita terapkan bersama. Ingat ! Pendidikan garda terdepan kunci kesuksesan pembangunan bangsa dan negara

Kamis, 24 Oktober 2013

TIPS MEREDAKAN MARAH


TIPS MEREDAKAN MARAH


Ketika emosi dan amarah memuncak maka segala sifat buruk yang ada dalam diri kita akan sulit dikendalikan dan rasa malu pun kadang akan hilang berganti dengan segala sifat buruk demi melampiaskan kemarahannya pada benda, binatang, orang lain, dll di sekitarnya.

Banyak orang bilang kalau menyimpan emosi secara terus-menerus dalam jangka waktu yang lama dapat pecah sewaktu-waktu dan bisa melakukan hal-hal yang lebih parah dari orang yang rutin emosian. Oleh sebab itu sebaiknya bila ada rasa marah atau emosi sebaiknya segera dihilangkan atau disalurkan pada hal-hal yang tidak melanggar hukum dan tidak merugikan manusia lain.

Beberapa ciri-ciri orang yang tidak mampu mengandalikan emosinya :
1. Berkata keras dan kasar pada orang lain.
2. Marah dengan merusak atau melempar barang-barang di sekitarnya.
3. Ringan tangan pada orang lain di sekitarnya.
4. Melakukan tindak kriminal / tindak kejahatan.
5. Melarikan diri dengan narkoba, minuman keras, pergaulan bebas, dsb.
6. Menangis dan larut dalam kekesalan yang mendalam.
7. Dendam dan merencanakan rencana jahat pada orang lain. dsb...

A. Beberapa Cara Untuk Meredam Emosi / Amarah Diri Sendiri :

1. Rasakan Yang Orang Lain Rasakan

Cobalah bayangkan apabila kita marah kepada orang lain. Nah, sekarang tukar posisi di mana anda menjadi korban yang dimarahi. Bagaimana kira-kira rasanya dimarahi. Kalau kemarahan sifatnya mendidik dan membangun mungkin ada manfaatnya, namun jika marah membabi buta tentu jelas anda akan cengar-cengir sendiri.

2. Tenangkan Hati Di Tempat Yang Nyaman

Jika sedang marah alihkan perhatian anda pada sesuatu yang anda sukai dan lupakan segala yang terjadi. Tempat yang sunyi dan asri seperti taman, pantai, kebun, ruang santai, dan lain sebagainya mungkin tempat yang cocok bagi anda. Jika emosi agak memuncak mingkin rekreasi untuk penyegaran diri sangat dibutuhkan.

3. Mencari Kesibukan Yang Disukai

Untuk melupakan kejadian atau sesuatu yang membuat emosi kemarahan kita memuncak kita butuh sesuatu yang mengalihkan amarah dengan melakukan sesuatu yang menyenangkan dan dapat membuat kita lupa akan masalah yang dihadapi. Contoh seperti mendengarkan musik, main ps2 winning eleven, bermain gitar atau alat musik lainnya, membaca buku, chating, chayang-chayangan dengan kekasih pujaan hati, menulis artikel, nonton film box office, dan lain sebagainya. Hindari perbuatan bodoh seperti merokok, make narkoba, dan lain sebagainya.

4. Curahan Hati / Curhat Pada Orang Lain Yang Bisa Dipercaya

Menceritakan segala sesuatu yang terjadi pada diri kita mungkin dapat sedikit banyak membantu mengurangi beban yang ada di hati. Jangan curhat pada orang yang tidak kita percayai untuk mencegah curhatan pribadi kita disebar kepada orang lain yang tidak kita inginkan. Bercurhatlah pada sahabat, pacar / kekasih, isteri, orang tua, saudara, kakek nenek, paman bibi, dan lain sebagainya.

5. Mencari Penyebab Dan Mencari Solusi

Ketika pikiran anda mulai tenang, cobalah untuk mencari sumber permasalahan dan bagaimana untuk menyelesaikannya dengan cara terbaik. Untuk memudahkan gunakan secarik kertas kosong dan sebatang pulpen untuk menulis daftar masalah yang anda hadapi dan apa saja kira-kira jalan keluar atau solusi masalah tersebut. Pilih jalan keluar terbaik dalam menyelesaikan setiap masalah yang ada. Mungkin itu semua akan secara signifikan mengurangi beban pikiran anda.

6. Ingin Menjadi Orang Baik

Orang baik yang sering anda lihat di layar televisi biasanya adalah orang yang kalau marah tetap tenang, langsung ke pokok permsalahan, tidak bermaksud menyakiti orang lain dan selalu mengusahakan jalan terbaik. Pasti anda ingin dipandang orang sebagai orang yang baik. Kalau ingin jadi penjahat, ya terserah anda.

7. Cuek Dan Melupakan Masalah Yang Ada

Ketika rasa marah menyelimuti diri dan kita sadar sedang diliputi amarah maka bersikaplah masa bodoh dengan kemarahan anda. Ubah rasa marah menjadi sesuatu yang tidak penting. Misalnya dalam hati berkata : ya ampun.... sama yang kayak begini aja kok bisa marah, nggak penting banget sich...

8. Berpikir Rasional Sebelum Bertindak

Sebelum marah kepada orang lain cobalah anda memikirkan dulu apakah dengan masalah tersebut anda layak marah pada suatu tingkat kemarahan. Terkadang ada orang yang karena diliatin sama orang lain jadi marah dan langsung menegur dengan kasar mengajak ribut / berantem. Masalah sepele jangan dibesar-besarkan dan masalah yang besar jangan disepelekan.

9. Diversifikasi Tujuan, Cita-Cita Dan Impian Hidup

Semakin banyak cita-cita dan impian hidup anda maka semakin banyak hal yang perlu anda raih dan kejar mulai saat ini. Tetapkan impian dan angan hidup anda setinggi mungkin namun dapat dicapai apabila dilakukan dengan serius dan kerja keras. Hal tersebut akan membuat hal-hal sepele tidak akan menjadi penting karena anda terlalu sibuk dengan rajutan benang masa depan anda. Mengikuti nafsu marah berarti membuang-buang waktu anda yang berharga.

10. Kendalikan Emosi Dan Jangan Mau Diperbudak Amarah

Orang yang mudah marah dan cukup membuat orang di sekitarnya tidak nyaman sudah barang tentu sangat tidak baik. Kehidupan sosial orang tersebut akan buruk. Ikrarkan dalam diri untuk tidak mudah marah. Santai saja dan cuek terhadap sesuatu yang tidak penting. Tujuan hidup anda adalah yang paling penting. Anggap kemarahan yang tidak terkendali adalah musuh besar anda dan jika perlu mintalah bantuan orang lain untuk mengatasinya.

B. Cara Untuk Meredam Emosi / Amarah Orang Lain:

Untuk meredam amarah orang lain sebaiknya kita tidak ikut emosi ketika menghadapi orang yang sedang dilanda amarah agar masalah tidak menjadi semakin rumit. Cukup dengarkan apa yang ingin ia sampaikan dan jangan banyak merespon. Tenang dan jangan banyak hiraukan dan dimasukkan dalam hati apa pun yang orang marah katakan. Cukup ambil intinya dan buang sisanya agar kita tidak ikut emosi atau menambah beban pikiran kita.

Jika marahnya karena sesuatu yang kita perbuat maka kalau bukan kesalahan kita jelaskanlah dengan baik, tapi kalau karena kesalahan kita minta maaf saja dan selesaikanlah dengan baik penuh ketenangan batin dan kesabaran dalam mengatasi semua kemarahannya. Lawan api dengan air, jangan lawan api dengan api. Semoga berhasil menjinakkan emosi rasa marah anda.