ILMU
PENDIDIKAN DALAM SOROTAN
Selama ini ilmu pendidikan hampir dalam berbagai pandangan wawasan yang
mencerminkan pula pandangan hidup dan pandangan tentang manusia. Bahan mentah mengenai
gagasan dan wawasan itu, yang di antaranya disajikan oleh firsafat, diramunya kembali
sehingga merupakan hidangan pendidikan yang matang dan mantap.
Filsafat memandang dirinya dapat menyingkap tabir hakikat manusia dalam
cabangnya yang disebut filsafat antroporogi. Setiap pandangan ilmu pendidikan
mencerminkan suatu pandangan antropologis yang tersirat pada pandangan mengenai
peserta didik maupun tindakan pendidikan.
Salah satu cabang filsafat ialah epistemologi yang diantaranya
menggumuli personalan pengetahuan, termasuk sumber bobot maupun
batasan-batasannya, masalah mendapatkan pengetahuan dan masalah mengetahui.
Jelaslah bahwa epistemology dimanfaatkan benar oleh pendidikan, khususnya di
sekolah dalam bentuk proses belajar mengajar (PBM).
Di antara para pendidik, termasuk para guru dan pengajar, ada yang
menerjemahkan konsep-konsep epistemologi menjadi berbagai metoda belajar mengajar.
Ada yang bertumpu
pada empiri, ada juga yang lebih banyak menyandarkan pada rasio.
Adapun aksiologi yang mempersoalkan masalah nilai, dimanfaatkan ilmu
pendidikan dalam meramu dan merumuskan tujuan pendidikan dalam rangka
pembobotan dan kualitas pribadi yang hendak diraih. Di samping filsafat, dalam
rangka menggariskan kebijakan tindakannya, ilmu pendidikan memanfaatkan pula
bahan-bahan yang disajikan oleh psikologi. Dalam psikologi, misalnya kita dapatkan
karakterisasi dunia anak yang jelas berbeda dengan dunia dewasa. Psikologi
mendalami pula persoalan interkomunikasi, internalisasi. introyeksi, yang oleh
ilmu pendidikan diolah menjadi bahan-bahan untuk menggariskan pola tindakan dan
perilaku pendidikan. Ini tidak berarti bahwa ilmu pendidikan semata-mata merupakan
psikologi terapan. Alasannya adalah bahwa psikologi sebagai ilmu tidak
memusatkan perhatiannya pada Das Sollen,
sedang ilmu pendidikan jelas-jelas adalah ilmu yang normatif.
Dalam pada itu, pendidikan direalisasikan dalam kehidupan sosial yang
konkret, sehingga ilmu pendidikan harus pula melirik kepada sosiologi. Pola
hidup serta nilai-nilai budaya yang ditemukan dalam kehidupan sosial itu,
memang perlu mendapatkan perhatian ilmu pendidikan dan bimbingan. Akan tetapi
kurang tepatlah apabila ilmu pendidikan dipandang sebagai sosialisasi generasi
muda belaka. Alasannya ialah bahwa manusia hendaknya tidak tenggelam dalam
masyarakatnya yang menyebabkan kehilangan kepribadiannya, melainkan dalam
kehidupan bermasyarakatnya ia tetap mampu mewujudkan diri sebagai individu yang
mandiri.
Ilmu pendidikan memang tidak menutup diri dari ilmu-ilmu yang lain, bahkan ia memanfaatkan bahan-bahan yang
disajikan berbagai disiplin, tanpa menjadikan dirinya sebagai hamba sahaya dari
disiplin tersebut. Cara dan penyiapan materi yang akan disampaikan, misalnya,
biasanya dijadikan porsi garapan kurikulum. Akan tetapi aspek teknis tersebut
tidak mungkin dipikirkan terlepas dari induknya, yaitu ilmu pendidikan.
Ada dua dimensi sikap hidup
utuh yang seyogianya menjadi sasaran pendidikan sebagai moral yang tinggi,
sikap hidup selaku hamba Allah Swt. dan sikap hidup terhadap sesama manusia.
Kedua dimensi itu tidak dapat dipisahkan dan menjadi sasaran yang seyogianya
dicapai melalui pendidikan dan secara khusus, melalui proses bimbingan dan
konseling. Dimensi vertikal terarah kepada Allah Swt. dan dimensi horizontal
sosial terarah pada kehidupan dengan sesama manusia. Arah ini seyogianya tidak
berlawanan, akan tetapi berlangsung serasi, harmonis, dan berlangsung dengan penuh
keikhlasan.
Terdapat berbagai nilai yang perlu dilestarikan dan dipelihara dari
generasi ke generasi dan sama sekali tidak dapat diabaikan dalam menata
kehidupan di era globalisasi yang utuh. Nilai-nilai tersebut diungkapkan oleh
Malik Fadjar (1999) dalam butir-butir yang menyatu, berkelindari. Disebutkan olehnya,
antara lain nilai (l) shilaturahim,
berupa cinta kasih sesama manusia, sesama warga Indonesia; (2) ukhuwah, berupa semangat persaudaraan
yang tidak terikat oleh berbagai identitas suku, ras dan agama; (3) musyawah, percamaan yang berpandangan
bahwa harkat dan martabat manusia adalah sama, tanpa memandang jenis kelamin,
suku dan kebangsaannya; (4) adil,
yang mengandung makna seimbang dalam memandang, menilai atau menyikapi sesuatu
alat orang; (5) husnudzdzan (baik
sangka), yang memandang manusia dilahirkan atas fithrah yang suci; (6) tawadlu, yang mewujudkan sikap rendah
hati yang lahir dari keinsafan bahwa kesempurnaan tidak dimiliki oleh manusia;
(7) tepat janji, yang merupakan ciri khas manusia terpuji; (8) lapang dada, yaitu adanya kesediaan menghargai pendapat dan pandangan
orang lain; (9) amanah, merupakan
ciri manusia yang dapat dipercaya, karena memiliki tanggung jawab yang tinggi;
(10) harga diri yang menunjukkan sikap rendah hati, tidak mudah memelas; (11) hemat, dalam arti tidak menahan hak
orang lain; dan (12) dermawan yang menunjukkan
sikap penolong bagi sesama manusia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar