Kamis, 03 Oktober 2013

Ilmu Pendidikan dalam Sorotan


ILMU PENDIDIKAN DALAM SOROTAN
Selama ini ilmu pendidikan hampir dalam berbagai pandangan wawasan yang mencerminkan pula pandangan hidup dan pandangan tentang manusia. Bahan mentah mengenai gagasan dan wawasan itu, yang di antaranya disajikan oleh firsafat, diramunya kembali sehingga merupakan hidangan pendidikan yang matang dan mantap.
Filsafat memandang dirinya dapat menyingkap tabir hakikat manusia dalam cabangnya yang disebut filsafat antroporogi. Setiap pandangan ilmu pendidikan mencerminkan suatu pandangan antropologis yang tersirat pada pandangan mengenai peserta didik maupun tindakan pendidikan.
Salah satu cabang filsafat ialah epistemologi yang diantaranya menggumuli personalan pengetahuan, termasuk sumber bobot maupun batasan-batasannya, masalah mendapatkan pengetahuan dan masalah mengetahui. Jelaslah bahwa epistemology dimanfaatkan benar oleh pendidikan, khususnya di sekolah dalam bentuk proses belajar mengajar (PBM).
Di antara para pendidik, termasuk para guru dan pengajar, ada yang menerjemahkan konsep-konsep epistemologi menjadi berbagai metoda belajar mengajar. Ada yang bertumpu pada empiri, ada juga yang lebih banyak menyandarkan pada rasio.
Adapun aksiologi yang mempersoalkan masalah nilai, dimanfaatkan ilmu pendidikan dalam meramu dan merumuskan tujuan pendidikan dalam rangka pembobotan dan kualitas pribadi yang hendak diraih. Di samping filsafat, dalam rangka menggariskan kebijakan tindakannya, ilmu pendidikan memanfaatkan pula bahan-bahan yang disajikan oleh psikologi. Dalam psikologi, misalnya kita dapatkan karakterisasi dunia anak yang jelas berbeda dengan dunia dewasa. Psikologi mendalami pula persoalan interkomunikasi, internalisasi. introyeksi, yang oleh ilmu pendidikan diolah menjadi bahan-bahan untuk menggariskan pola tindakan dan perilaku pendidikan. Ini tidak berarti bahwa ilmu pendidikan semata-mata merupakan psikologi terapan. Alasannya adalah bahwa psikologi sebagai ilmu tidak memusatkan perhatiannya pada Das Sollen, sedang ilmu pendidikan jelas-jelas adalah ilmu yang normatif.
Dalam pada itu, pendidikan direalisasikan dalam kehidupan sosial yang konkret, sehingga ilmu pendidikan harus pula melirik kepada sosiologi. Pola hidup serta nilai-nilai budaya yang ditemukan dalam kehidupan sosial itu, memang perlu mendapatkan perhatian ilmu pendidikan dan bimbingan. Akan tetapi kurang tepatlah apabila ilmu pendidikan dipandang sebagai sosialisasi generasi muda belaka. Alasannya ialah bahwa manusia hendaknya tidak tenggelam dalam masyarakatnya yang menyebabkan kehilangan kepribadiannya, melainkan dalam kehidupan bermasyarakatnya ia tetap mampu mewujudkan diri sebagai individu yang mandiri.
Ilmu pendidikan memang tidak menutup diri dari ilmu-ilmu yang lain,  bahkan ia memanfaatkan bahan-bahan yang disajikan berbagai disiplin, tanpa menjadikan dirinya sebagai hamba sahaya dari disiplin tersebut. Cara dan penyiapan materi yang akan disampaikan, misalnya, biasanya dijadikan porsi garapan kurikulum. Akan tetapi aspek teknis tersebut tidak mungkin dipikirkan terlepas dari induknya, yaitu ilmu pendidikan.
Ada dua dimensi sikap hidup utuh yang seyogianya menjadi sasaran pendidikan sebagai moral yang tinggi, sikap hidup selaku hamba Allah Swt. dan sikap hidup terhadap sesama manusia. Kedua dimensi itu tidak dapat dipisahkan dan menjadi sasaran yang seyogianya dicapai melalui pendidikan dan secara khusus, melalui proses bimbingan dan konseling. Dimensi vertikal terarah kepada Allah Swt. dan dimensi horizontal sosial terarah pada kehidupan dengan sesama manusia. Arah ini seyogianya tidak berlawanan, akan tetapi berlangsung serasi, harmonis, dan berlangsung dengan penuh keikhlasan.
Terdapat berbagai nilai yang perlu dilestarikan dan dipelihara dari generasi ke generasi dan sama sekali tidak dapat diabaikan dalam menata kehidupan di era globalisasi yang utuh. Nilai-nilai tersebut diungkapkan oleh Malik Fadjar (1999) dalam butir-butir yang menyatu, berkelindari. Disebutkan olehnya, antara lain nilai (l) shilaturahim, berupa cinta kasih sesama manusia, sesama warga Indonesia; (2) ukhuwah, berupa semangat persaudaraan yang tidak terikat oleh berbagai identitas suku, ras dan agama; (3) musyawah, percamaan yang berpandangan bahwa harkat dan martabat manusia adalah sama, tanpa memandang jenis kelamin, suku dan kebangsaannya; (4) adil, yang mengandung makna seimbang dalam memandang, menilai atau menyikapi sesuatu alat orang; (5) husnudzdzan (baik sangka), yang memandang manusia dilahirkan atas fithrah yang suci; (6) tawadlu, yang mewujudkan sikap rendah hati yang lahir dari keinsafan bahwa kesempurnaan tidak dimiliki oleh manusia; (7) tepat janji, yang merupakan ciri khas manusia terpuji; (8) lapang dada, yaitu adanya kesediaan menghargai pendapat dan pandangan orang lain; (9) amanah, merupakan ciri manusia yang dapat dipercaya, karena memiliki tanggung jawab yang tinggi; (10) harga diri yang menunjukkan sikap rendah hati, tidak mudah memelas; (11) hemat, dalam arti tidak menahan hak orang lain; dan (12) dermawan yang menunjukkan sikap penolong bagi sesama manusia.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar