Senin, 28 Oktober 2013

APA, MENGAPA DAN BAGAIMANA SOFT SKILL DAPAT MENINGKATKAN POTENSI ANAK


APA, MENGAPA DAN BAGAIMANA SOFT SKILL DAPAT MENINGKATKAN POTENSI ANAK

Disarikan oleh : Dr. SUKO BUDIONO,M.Pd.,Kons
                                                 
                                                 



Mengapa ?

Dunia kerja percaya bahwa sumber daya manusia yang unggul adalah mereka yang tidak hanya memiliki kemahiran hard skill saja tetapi juga piawai dalam aspek soft skillnya. Dunia pendidikanpun mengungkapkan bahwa berdasarkan penelitian di Harvard University Amerika Serikat ternyata kesuksesan seseorang tidak ditentukan semata-mata oleh pengetahuan dan kemampuan teknis (hard skill) saja, tetapi lebih oleh kemampuan mengelola diri dan orang lain (soft skill). Penelitian ini mengungkapkan, kesuksesan hanya ditentukan sekitar 20% oleh hard skill dan sisanya 80% oleh soft skill.

Adalah suatu realita bahwa pendidikan di Indonesia lebih memberikan porsi yang lebih besar untuk muatan hard skill, bahkan bisa dikatakan lebih berorientasi pada pembelajaran hard skill saja. Lalu seberapa besar semestinya muatan soft skill dalam kurikulum pendidikan?, kalau mengingat bahwa sebenarnya penentu kesuksesan seseorang itu lebih disebabkan oleh unsur soft skillnya.

Jika berkaca pada realita di atas, pendidikan soft skill tentu menjadi kebutuhan urgen dalam dunia pendidikan. Namun untuk mengubah kurikulum juga bukan hal yang mudah. Pendidik seharusnya memberikan muatan-muatan pendidikan soft skill pada proses pembelajarannya. Sayangnya, tidak semua pendidik mampu memahami dan menerapkannya. Lalu siapa yang harus melakukannya? Pentingnya penerapan pendidikan soft skill idealnya bukan saja hanya untuk anak didik saja, tetapi juga bagi pendidik.


Apa ?

Konsep tentang soft skill sebenarnya merupakan pengembangan dari konsep yang selama ini dikenal dengan istilah kecerdasan emosional (emotional intelligence). Soft skill sendiri diartikan sebagai kemampuan diluar kemampuan teknis dan akademis, yang lebih mengutamakan kemampuan intra dan interpersonal.

Secara garis besar soft skill bisa digolongkan ke dalam dua kategori : intrapersonal dan interpersonal skill. Intrapersonal skill mencakup : self awareness (self confident, self assessment, trait & preference, emotional awareness) dan self skill ( improvement, self control, trust, worthiness, time/source management, proactivity, conscience). Sedangkan interpersonal skill mencakup social awareness (political awareness, developing others, leveraging diversity, service orientation, empathy dan social skill (leadership,influence, communication, conflict management, cooperation, team work, synergy)


Pada proses rekrutasi karyawan, kompetensi teknis dan akademis (hard skill) lebih mudah diseleksi. Kompetensi ini dapat langsung dilihat pada daftar riwayat hidup, pengalaman kerja, indeks prestasi dan ketrampilan yang dikuasai. Sedangkan untuk soft skill biasanya dievaluasi oleh psikolog melalui psikotes dan wawancara mendalam. Interpretasi hasil psikotes, meskipun tidak dijamin 100% benar namun sangat membantu perusahaan dalam menempatkan ‘the right person in the right place’.

Hampir semua perusahaan dewasa ini mensyaratkan adanya kombinasi yang sesuai antara hard skill dan soft skill, apapun posisi karyawannya. Di kalangan para praktisi SDM, pendekatan ala hard skill saja kini sudah ditinggalkan. Percuma jika hard skill oke, tetapi soft skillnya buruk. Hal ini bisa dilihat pada iklan-iklan lowongan kerja berbagai perusahaan yang juga mensyaratkan kemampuan soft skill, seperi team work, kemampuan komunikasi, dan interpersonal relationship, dalam job requirementnya. Saat rekrutasi karyawan, perusahaan cenderung memilih calon yang memiliki kepribadian lebih baik meskipun hard skillnya lebih rendah. Alasannya sederhana : memberikan pelatihan ketrampilan jauh lebih mudah daripada pembentukan karakter. Bahkan kemudian muncul tren dalam strategi rekrutasi „ Recruit for Attitude, Train for Skill“.

Hal tersebut menunjukkan bahwa : hard skill merupakan faktor penting dalam bekerja, namun keberhasilan seseorang dalam bekerja biasanya lebih ditentukan oleh soft skillnya yang baik.
Psikolog kawakan, David McClelland bahkan berani berkata bahwa faktor utama keberhasilan para eksekutif muda dunia adalah kepercayaan diri, daya adaptasi, kepemimpinan dan kemampuan mempengaruhi orang lain. Yang tak lain dan tak bukan merupakan soft skill.


Bagaimana ?

Para ahli manajemen percaya bahwa bila ada dua orang dengan bekal hard skill yang sama, maka yang akan menang dan sukses di masa depan adalah dia yang memiliki soft skill lebih baik. Mereka adalah benar-benar sumber daya manusia unggul, yang tidak hanya semata memiliki hard skill baik tetapi juga didukung oleh soft skill yang tangguh.

Pada posisi bawah, seorang karyawan tidak banyak menghadapai masalah yang berkaitan dengan soft skill. Masalah soft skill biasanya menjadi lebih kompleks ketika seseorang berada di posisi manajerial atau ketika dia harus berinteraksi dengan banyak orang. Semakin tinggi posisi manajerial seseorang di dalam piramida organisasi, maka soft skill menjadi semakin penting baginya. Pada posisi ini dia akan dituntut untuk berinteraksi dan mengelola berbagai orang dengan berbagai karakter kepribadian. Saat itulah kecerdasan emosionalnya diuji.

Umumnya kelemahan dibidang soft skill berupa karakter yang melekat pada diri seseorang. Butuh usaha keras untuk mengubahnya. Namun demikian soft skill bukan sesuatu yang stagnan. Kemampuan ini bisa diasah dan ditingkatkan seiring dengan pengalaman kerja. Ada banyak cara meningkatkan soft skill. Salah satunya melalui learning by doing. Selain itu soft skill juga bisa diasah dan ditingkatkan dengan cara mengikuti pelatihan-pelatihan maupun seminar-seminar manajemen. Meskipun, satu cara ampuh untuk meningkatkan soft skill adalah dengan berinteraksi dan melakukan aktivitas dengan orang lain.
Atribut soft skill sebenarnya dimiliki oleh setiap orang, tetapi dalam jumlah dan kadar yang berbeda-beda. Atribut tersebut dapat berubah jika yang bersangkutan mau mengubahnya. Atribut ini juga dapat dikembangkan menjadi karakter seseorang. Bagaimana mengubah atau mengembangkannya? Tidak lain tidak bukan, harus diasah dan dipraktekkan oleh setiap individu yang belajar atau ingin mengembangkannya. Salah satu ajang yang cukup baik untuk mengembangkan soft skill adalah melalui pembelajaran dengan segala aktivitasnya dan lembaga kesiswaan.

Soft skill merupakan kemampuan khusus, diantaranya meliputi social interaction, ketrampilan teknis dan managerial. Kemampuan ini adalah salah satu hal yang harus dimiliki tiap siswa dalam memasuki dunia kerja. Seperti diungkapkan Nasution (2006) dalam seminar soft skill ”Kunci Menuju Sukses” yang disenggarakan di ITS. Hakim memberikan gambaran mengenai persentase kemampuan seorang siswa yang diperoleh dari kampus mereka. Berdasarkan data yang diadopsi dari Havard School of Bisnis, kemampuan dan keterampilan yang diberikan di bangku pembelajaran, 90 persen adalah kemampuan teknis dan sisanya soft skill. Padahal, yang nantinya diperlukan untuk menghadapi dunia kerja yaitu hanya sekitar 15 persen kemampuan hard skill. Dari data tersebut, lanjutnya, dapat menarik benang merah bahwa dalam memasuki dunia kerja soft skill-lah yang mempunyai peran yang lebih dominan.

Untuk mendiseminasikan soft skill pada para siswa, faktor yang sangat berpengaruh adalah dimulai dari guru. Maka, Ichsan yang juga turut merumuskan pengembangan soft skill di ITB, mendukung pelaksanaan pelatihan bagi para guru supaya mengerti lebih jauh tentang soft skill. Menurutnya, guru harus bisa jadi living example. Dari mulai datang tepat waktu, mengoreksi tugas, dan sebagainya. Bukan apa-apa, kemampuan presentasi dan menulis siswa masih banyak yang belum bagus. Guru juga harus bisa melatih siswa supaya asertif, supaya berani membicarakan ide. Fenomena siswa menyontek juga jangan dianggap biasa, ini masuk faktor kejujuran dan etika dalam soft skill. Lihat di Indonesia, korupsi begitu menjamur, karena orang sudah terbiasa tidak jujur sejak masa sekolah.

Soft skill yang diberikan kepada para siswa dapat diintegrasikan dengan materi pembelajaran. Menurut Saillah (2007), materi soft skill yang perlu dikembangkan kepada para siswa, tidak lain adalah penanaman sikap jujur, kemampuan berkomunikasi, dan komitmen. Untuk mengembangkan soft skill dengan pembelajaran, perlu dilakukan perencanaan yang melibatkan para guru, siswa, alumni, dan dunia kerja, untuk mengidentifikasi pengembangan soft skill yang relevan.

Tentu saja pengidentifikasian tersebut bukan sesuatu yang “hitam-putih”, tetapi lebih merupakan kesepakatan. Dengan asumsi semua guru memahami betul “isi” pembelajaran yang dibina dan “memahami” konsep soft skill beserta komponen-komponennya, maka pengisian akan berlangung objektif dan cermat. Dengan cara itu setiap guru mengetahui komponen soft skill apa yang harus dikembangkan ketika mengajar.

Hard skill dapat dinilai dari technical test atau practical test. Bagaimana untuk menilai soft skill siswa? Evaluasi dengan kertas dan pensil dengan jawaban tunggal (konvergen) tidak cukup. Perlu dilengkapi dengan model soal yang divergen dengan jawaban beragam. Ketika siswa mengidentifikasi informasi, sangat mungkin hasilnya beragam dan semuanya benar. Demikian pula ketika siswa menyampaikan pendapat. Komponen kesadaran diri juga lebih dekat dengan ranah afektif, sehingga evaluasinya tidak dapat hanya dengan tes. Diperlukan format observasi guna mengetahui apakah siswa memang sudah menghayati yang direpresentasikan dalam tindakan keseharian. Tes kinerja dan lembar observasi juga diperlukan untuk mengetahui kinerja siswa dalam mengerjakan tugas/tes maupun perilaku keseharian. Substansi ujian sebaiknya dikaitkan dengan masalah nyata, sehingga dapat menjadi bentuk authentic evaluation paling tidak berupa shadow authentic evaluation yang bersifat pemecahan masalah (problem based).

Cara lain untuk menilai soft skill yang dimiliki oleh siswa dapat dilakukan dengan menggunakan teknik wawancara yang mendalam dan menyeluruh dengan pendekatan behavioral interview. Dengan behavioral interview, diharapkan siswa lulus tidak hanya memiliki hard skill namun juga didukung oleh soft skill yang baik.
Harus disadari pendidikan di negeri ini masih berorentasi pada pendidikan berbasis hard skill (keterampilan teknis) yang lebih bersifat mengembangkan intelligence quotient (IQ)
, namun kurang mengembangkan kemampuan soft skill yang tertuang dalam emotional intelligence (EQ) dan spiritual intelligence (SQ).
Lihat saja kurikulum dalam pembelajaran diberbagai sekolah bahkan perguruan tinggi lebih menekankan pada perolehan nilai hasil ulangan maupun nilai hasil ujian. Banyak Guru/Dosen yang memiliki persepsi bahwa peserta didik yang memiliki kompetensi yang baik adalah memiliki nilai hasil ulangan/ujian yang tinggi. Maka tak heran Ujian Nasional (UN) sering dijadikan acuan dalam keberhasilan siswa. Padahal belum tentu benar.
Seiring perkembangan jaman, pendidikan yang hanya berbasiskan hard skill yaitu menghasilkan lulusan yang hanya memiliki prestasi dalam akademis, kini tak relevan lagi. Sekarang pembelajaran juga harus berbasis pada pengembangan soft skill (interaksi sosial) sebab ini sangat penting dalam pembentukan karakter anak bangsa sehingga mampu bersaing, beretika, bermoral, sopan santun dan berinteraksi dengan masyarakat.
Pendidikan soft skills bertumpu pada pembinaan mentalitas agar siswa dapat menyesuaikan diri dengan realitas kehidupan. Kesuksesan seseorang tidak ditentukan semata-mata oleh pengetahuan dan keterampilan teknis (hard skill) saja, tetapi juga oleh keterampilan mengelola diri dan orang lain (soft skill). Berdasarkan penelitian di Harvard University Amerika Serikat ternyata kesuksesan seseorang tidak ditentukan semata-mata oleh pengetahuan dan kemampuan teknis (hard skill) saja, tetapi lebih oleh kemampuan mengelola diri dan orang lain (soft skill).
Penelitian ini mengungkapkan, kesuksesan hanya ditentukan sekitar 20 persen oleh hard skill dan sisanya 80 persen oleh soft skill. Bahkan orang-orang tersukses di dunia bisa berhasil dikarenakan lebih banyak didukung kemampuan soft skill daripada hard skill.
Apa itu “Soft Skill”?
Sebenarnya dalam kurikulum KTSP berbasis kompetensi jelas dituntut muatan soft skill. Namun penerapannya tidaklah mudah sebab banyak tenaga pendidik tak paham apa itu soft skill dan bagaimana penerapannya ? Soft skill merupakan bagian ketrampilan dari seseorang yang lebih bersifat pada kehalusan atau sensitifitas perasaan seseorang terhadap lingkungan di sekitarnya. Dikarenakan soft skill lebih mengarah kepada ketrampilan psikologis maka dampak yang diakibatkan lebih tidak kasat mata namun tetap bisa dirasakan.
Akibat yang bisa dirasakan adalah perilaku sopan, disiplin, keteguhan hati, kemampuan kerja sama, membantu orang lain dan lainnya. Keabstrakan kondisi tersebut mengakibatkan soft skill tidak mampu dievaluasi secara tekstual karena indikator-indikator soft skill lebih mengarah pada proses eksistensi seseorang dalam kehidupannya. Pengembangan soft skill yang dimiliki oleh setiap orang tidak sama sehingga mengakibatkan tingkatan soft skill yang dimiliki masing-masing individu juga berbeda.
Penerapan dan Membentuk Karakter
Keterpurukan mental dan moralitas sebagian pemimpin atau generasi bangsa ini dikarenakan kurangnya pendidikan soft skill. Adanya korupsi, narkoba, sek bebas, ugal-ugalan dan sebagainya merupakan akibat dari sedikitnya sentuhan atau pengembangan terhadap EQ dan SQ yang menjadi bagian soft skill. Pembelajaran berbasis soft skill sangat berperan membentuk karakter peserta didik dan ini akan terbawa hingga terjun berinteraksi kedalam masyarakat.
Melihat sangat pentingnya soft skill, maka sudah menjadi kewajiban Guru/Dosen mulai menerapkan pendidikan soft skill. Pendidikan soft skill tidak seharusnya melalui satu mata pelajaran khusus saja, melainkan diintegrasikan melalui semua mata pelajaran yang sudah ada atau dengan menggunakan strategi pembelajaran yang berpusat pada siswa. Misalnya; pembelajaran kontekstual adalah konsep belajar yang membantu guru mengaitkan antara materi yang diajarkan dengan situasi dunia nyata siswa.
Kemudian, mendorong siswa membuat hubungan antara pengetahuan yang dimiliki dengan penerapan dalam kehidupan sehari-hari dengan melibatkan komponen utama pembelajaran. Yaitu, konstruktivisme, menemukan, bertanya, masyarakat belajar, pemodelan, refleksi dan penilaian yang sebenarnya. Komponen tersebut dapat diterapkan dalam kelas maupun diluar kelas dengan beberapa pendekatan pengajaran yaitu; Pengajaran autentik, Belajar berbasis layanan, Pengajaran berbasis Inquiri, Belajar berbasis masalah, Belajar berbasis proyek/tugas terstruktur, Belajar berbasis kerja dan Belajar kooperatif .
Dengan diterapkannya pendidikan soft skill secara otomatis akan mendorong siswa berkemauan belajar, bekerjasama, berkomunikasi, kreatif, berpikir kritis, memecahkan masalah, memimpin, mengembangkan diri, saling berinteraksi serta keahlian lainnya. Secara perlahan tapi pasti akan membentuk karakter siswa kearah yang lebih positif.
Tuntutan Pasar Kerja
Sekolah tinggi-tinggi selain untuk memperoleh pendidikan, wawasan, pengetahuan, menciptakan lapangan kerja dan juga untuk mendapatkan pekerjaan yang lebih baik. Jadi tidak hanya pendidikan hard skill yang dibutuhkan, justru harus diimbangi dengan bekal soft skill. Banyak perusahaan atau pengguna tenaga lulusan perguruan tinggi yang mengeluhkan karena mutu lulusan lebih mengandalkan kemampuan nilai akademis yang tinggi (hard skill) daripada soft skill.
Alhasil dalam bekerja mereka tidak tangguh, bertabiat seperti kutu loncat, tidak dapat bekerja sama, cepat bosan, kurang jujur, tidak memiliki integritas, kurang rasa humor dan tak bisa berinteraksi dengan orang lain. Sepertinya, apa yang diberikan di bangku kuliah/sekolah tidak lagi sesuai dengan apa yang dibutuhkan di lapangan kerja. Sebagian besar mata kuliah yang diajarkan, bisa dibilang berupa keterampilan keras (hard skill). Padahal, banyak bukti yang menunjukkan bahwa penentu kesuksesan justru keahlian yang tergolong lunak (soft skill).
Ketidaksinerjian antara hard skill dan soft skill, harus segera diatasi, antara lain dengan memberikan bobot yang lebih kepada pengembangan soft skill. Para pendidik baik di sekolah dan terlebih-lebih pada pendidikan tinggi, diharapkan mengembangkan soft skill, baik melalui intrakurikulum maupun kegiatan ekstrakurikuler.
Sehingga akan tercipta lulusan yang tangguh dalam hard skill sekaligus soft skill. Jika tidak, lulusan perguruan tinggi akan semakin banyak yang menganggur karena tak sesuai dengan kebutuhan pasar. Percuma banyak lulusan dari berbagai disiplin ilmu yang di hasilkan tiap tahun dari setiap jenjang pendidikan, namun belum mampu memberikan kontribusi yang berarti.
Saatnya Guru, Dosen maupun tenaga pendidik menerapkan pendidikan/pembelajaran berbasis hard skill dan soft skill yang mencakup pengembangan IQ, EQ dan SQ. Hal ini sangat penting dan mendesak sebab di negara ini banyak orang yang pintar tapi sebagian kerjanya hanya untuk mintar-mintari yang lain dan membodohi rakyat. Dengan diterapkannya hard skill dan soft skill kelak akan menghasilkan generasi yang cerdas, jujur, berakhlak mulia, bermoral, beriman, bertakwa, berbudi pekerti, beretika, sopan santun dan peduli terhadap sesama manusia maupun lingkungan.
Inilah formula yang tepat dalam menghasilkan karakter bangsa yang bermartabat ditengah terpuruknya moralitas bangsa ini. Secara perlahan tapi pasti karakter budaya koruptif akan terkikis. Alangkah bahagianya dan maju jika bangsa ini dipimpin, diisi oleh orang-orang yang memiliki kecerdasan hard skill (IQ) dan soft skill (EQ dan SQ). Mari kita terapkan bersama. Ingat ! Pendidikan garda terdepan kunci kesuksesan pembangunan bangsa dan negara

Tidak ada komentar:

Posting Komentar