Kualitas hubungan antar manusia bisa merupakan jalan pendorong atau
penghambat bagi seseorang dalam menghadapi kehidupan yang maha kekal, karena
itu wajar apabila seseorang mengatakan bahwa dosa terhadap Allah mudah untuk
dilebur dengan cara bertaubat kalena Allah maha pemaaf dan maha pengampun,
tetapi dosa terhadap sesama manusia sulit untuk dihilangkan karena antara yang
berbuat dolim dan didolimi biasanya berat untuk meminta maaf dan memaafkan
Sehubungan dengan kualitas hubungan antar manusia, Oemar Bakry (1984:
133) menjelaskan bahwa dalam Al-Qur'an Surat Ali Imran, ayat 159, disebutkan
bahwa:
Maka dengan rahmat Allah,
kamu bersikap lemah-lembut terhadap mereka. Jika kamu (hai Muhammad) bersikap
kasar, kesat hati, niscaya mereka akan menjauh darimu. Makn maafkanlah mereka,
mintakonlah ampun dan bernusyawarahlah dengan mereka dalam urusan (perang, ekonomi
dan lain-lain urusan dunia). Manakala sudah mantap tekadmu, tawakallah kepada
Allah (dalam menjalankannya tanpa ragu-ragu). Sesungguhnya Allah mengasihi
orang-orang yang tawakal.
Selanjutnya Thabrani (Moh Abdai Rathomy, 1983: 343) meriwayatkan
Rasulullah Saw pemah menyampaikan penjelasan bahwa sesungguhnya yang tercinta
di antara manusia di hadapan Allah ialah orang-orang yang dapat menyesuaikan
diri dan dapat diikuti penyesuaian dirinya, sedangkan manusia yang paling
dibenci di hadapan Allah ialah orang-orang yang berjalan menyebarkan pengadudombaan
serta yang suka memecah belah antara sesame saudaranya. Selanjutnya, bila
hubungan antar manusia didasari dengan keikhlasan dan dijadikan sebagai wahana
untuk lebih mendekatkan diri kepada Allah Swt., banyak manfaat yang bisa diambil
oleh manusia sebagaimana dikemukakan Moh Abdai Rathomy (1983: 424), yaitu: (l)
mampu memberi dan menerima ilmu pengetahuan (mengajar dan belajar); (2) memberi
dan mengambil makna pengalaman kehidupan; (3) mampu mendidik dan menerima
didikan; (4) meningkatkan kesetiaka-wanan; (5) memperoleh pahala dan
menyebabkan orang lain beqpahala dengan jalan memenuhi hak-hak orang lain; (6)
membiasakan diri rendah diri atau tawadlu; dan (7) dapat mengambil suri
teladan.
Selanjutnya Zamakhsyari Dhofier (1982: 2l) mengemukakan bahwa tujuan
pendidikan pesantren bukanlah untuk mengejar kepentingan kekuasaan, uang dan
keagungan duniawi, tetapi ditanamkan kepada mereka bahwa belajar adalah
semata-mata kewajiban dan pengabdian kepada Tuhan. Karena itu proses pendidikannya
tidak semata-mata untuk memperkaya pikiran para santri dengan
penjelasan-penjelasan, tetapi untuk meninggikan moral, melatih mempertinggi
semangat, menghargai nilai-nilai spiritual dan kemanusiaan, mengajarkan sikap
dan tingkah laku yang jujur dan bermoral, dan menyiapkan para santri untuk
hidup sederhana dan bersih hati.
Tinjauan mengenai pendidikan pesantren lebih jauh dikemukakan oleh M.
Dawam Rahardjo (1988: 9), bahwa pondok, dengan cara hidupnya yang bersifat
kolektif merupakan salah satu perwujudan atau wajah dari semangat dan tradisi
lembaga gotong royong yang umum terdapat di masyarakat pedesaan. Nilai-nilai keagamaan
seperti ukhuwah (persaudaraan), ta'awun (tolong menolong atau
kooperasi), ittihad (persatuan), thalabul ilmi (menuntut ilmu), ikhlas
(iklas), jihad (berjuang), thaat (patuh kepada Tuhan, Rasul, ulama
atau kyai sebagai pewaris nabi, dan kepada mereka yang diakui sebagai
pemimpin), dan berbagai nilai secara eksplisist tertulis sebagai ajaran islam.
Karakteristik pendidikan pesantren tersebut bermuara pada aspek
keterampilan hubungan sosial (relationship
skills) para lulusannya di masyarakat, sehingga mereka sering menunjukkan kemampuan
penyesuaian diri positif dan mengundang kekaguman sebagian besar masyarakat
karena mereka mampu menempatkan diri pada sistuasi yang betul-betul dibutuhkan
masyarakat sekitarnya. Manusia adalah makhluk sosial dan apabila tidak memiliki
ketrampilan sosial dengan baik dapat mendorong kearah suatu kehidupan yang
penuh dengan kesepian dan tekanan. Ketrampilan sosial membantu seseorang untuk
menjadi menarik, mendapatkan pekerjaan yang diinginkan, kemajuan karier dan berhubungan
dengan orang lain. Karena itu, Knoff and Batsche dalam http://www.nasponline.org.
tahun 2002 mengemukakan bahwa keterampilan sosial utama yang perlu dimiliki
seseorang, yaitu: (1) Kemampuan untuk memiliki ketertarikan pada situasi sosial;
(2) ketrampilan mendengarkan; (3) kesadaran diri; (4) Kemampuan untuk membangun
hubungan; (5) Mengelahui bagaimana, kapan dan bagaimana cara pembicaraan
tentang diri sendiri (disclosure talking); dan (6) kontak mata.
Seseorang yang memiliki Ketrampilan sosial yang baik memungkinkan untuk
mengetahui apa yang harus dikatakan, bagaimana cara menghadapi aneka pilihan,
dan bagaimana cara bertindak dalam situasi sosial yang berbeda. Tingkat
penguasaan keterampilan sosial dapat mempengaruhi pencapaian kesuksesan akademis,
perilaku, sosial dan hubungan keluarga, serta keterlibatan di dalam aktivitas
ekstrakurikuler. Ketrampilan social berhubungan juga dengan mutu suatu
lingkungan, baik keluarga, pesantren maupun masyarakat secara luas. Sebab
keterampilan sosial yang dimiliki individu dihasilkan melalui interaksi dan pengamatan
sehari-hari mereka dengan orang dewasa. Karena itu sangat penting bagi orang
tua dan pendidik untuk mengenali perilaku sehari-hari yang berdampak merugikan
kepada keselamatan atau pengembangan mereka.
Konsekwensi lemahnya penguasaan ketrampilan social mengakibatkan
individu mengalami berbagai kesulitan di dalam hubungan antar pribadi dengan
orang tua, para guru, dan teman dekat atau kerabatnya, bahkan tingkat kesulitan
belajar dan akademis seseorang sebagai suatu konsekwensi yang tidak langsung (Gwendolyn
Cartledge, 1992).
Pesantren sebagai salah satu lembaga pendidikan tempat para santri
mempelajari keterampilan sosial hendaknya secara terus menerus meningkatkan
jalan untuk membantu para santri mengembangkan ketrampilan sosial positif, baik
dalam lingkungan pesantren maupun di dalam masyarakat. Ketrampilan sosial yang dapat
dikembangkan pesantren meliputi: (1) manajemen marah; (2) pemahaman tentang
pandangan lain; (3) pemecahan masalah; (4) negosiasi hubungan pertemanan; (5)
pengendalian konflik; (6) menyatakan diri; (7) mendengarkan; (8) komunikasi
efektif; serta (9) toleransi dan penerimaan terhadap kelompok yang berbeda.
Dalam pelaksanaannya, ketrampilan sosial tidak cukup untuk memastikan
keberhasilan pesantren; intervensi tidak terbatas pada pengajaran dan pelatihan
bagi para santri; tetapi pesantren hendaknya mengembangkan kultur lingkungan
yang memudahkan dengan tara menanamkan
peningkatan ketrampilan sosial ke dalam suatu sistem rnanajemen pesantren yang
menyeluruh dan disiplin, menekankan relationship-building antar para santri;
para ustadz dan pimpinan pesantren (Kyai) serta antara pesantren dan
keluargakeluarga, serta pesantren menyediakan manajemen perilaku efektif dan
instruksi akademis.
Banyak ketrampilan sosial yang penting untuk dijelaskan kepada para
santri, pesantren dapat mengorganisir para santri ke dalam empat area ketrampilan:
1. Keterampilan Survival (mendengarkan, mengikuti arah, menghindari konflik,
penggunaan kata-kata yang menarik atau pembicaraan secara terbuka, dan
menghargai diri sendiri);
2. Keterampilan hubungan antar pribadi ( berbagi, meminta ijin, bergabung pada suatu
aktivitas, menerima orang lain);
3. Keterampilan problem-solving (meminta bantuan, minta maaf, menerima konsekwensi,
memufuskan apa yang harus dilakukan);
4. Ketrampilan resolusi konflik (berhadapan dengan sindiran, kegagalan, tuduhan,
tidak dihargai, dan tekanan).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar