Rabu, 02 Oktober 2013

KETERAMPILAN SOSIAL DI PESANTREN


Kualitas hubungan antar manusia bisa merupakan jalan pendorong atau penghambat bagi seseorang dalam menghadapi kehidupan yang maha kekal, karena itu wajar apabila seseorang mengatakan bahwa dosa terhadap Allah mudah untuk dilebur dengan cara bertaubat kalena Allah maha pemaaf dan maha pengampun, tetapi dosa terhadap sesama manusia sulit untuk dihilangkan karena antara yang berbuat dolim dan didolimi biasanya berat untuk meminta maaf dan memaafkan
Sehubungan dengan kualitas hubungan antar manusia, Oemar Bakry (1984: 133) menjelaskan bahwa dalam Al-Qur'an Surat Ali Imran, ayat 159, disebutkan bahwa:
Maka dengan rahmat Allah, kamu bersikap lemah-lembut terhadap mereka. Jika kamu (hai Muhammad) bersikap kasar, kesat hati, niscaya mereka akan menjauh darimu. Makn maafkanlah mereka, mintakonlah ampun dan bernusyawarahlah dengan mereka dalam urusan (perang, ekonomi dan lain-lain urusan dunia). Manakala sudah mantap tekadmu, tawakallah kepada Allah (dalam menjalankannya tanpa ragu-ragu). Sesungguhnya Allah mengasihi orang-orang yang tawakal.
Selanjutnya Thabrani (Moh Abdai Rathomy, 1983: 343) meriwayatkan Rasulullah Saw pemah menyampaikan penjelasan bahwa sesungguhnya yang tercinta di antara manusia di hadapan Allah ialah orang-orang yang dapat menyesuaikan diri dan dapat diikuti penyesuaian dirinya, sedangkan manusia yang paling dibenci di hadapan Allah ialah orang-orang yang berjalan menyebarkan pengadudombaan serta yang suka memecah belah antara sesame saudaranya. Selanjutnya, bila hubungan antar manusia didasari dengan keikhlasan dan dijadikan sebagai wahana untuk lebih mendekatkan diri kepada Allah Swt., banyak manfaat yang bisa diambil oleh manusia sebagaimana dikemukakan Moh Abdai Rathomy (1983: 424), yaitu: (l) mampu memberi dan menerima ilmu pengetahuan (mengajar dan belajar); (2) memberi dan mengambil makna pengalaman kehidupan; (3) mampu mendidik dan menerima didikan; (4) meningkatkan kesetiaka-wanan; (5) memperoleh pahala dan menyebabkan orang lain beqpahala dengan jalan memenuhi hak-hak orang lain; (6) membiasakan diri rendah diri atau tawadlu; dan (7) dapat mengambil suri teladan.
Selanjutnya Zamakhsyari Dhofier (1982: 2l) mengemukakan bahwa tujuan pendidikan pesantren bukanlah untuk mengejar kepentingan kekuasaan, uang dan keagungan duniawi, tetapi ditanamkan kepada mereka bahwa belajar adalah semata-mata kewajiban dan pengabdian kepada Tuhan. Karena itu proses pendidikannya tidak semata-mata untuk memperkaya pikiran para santri dengan penjelasan-penjelasan, tetapi untuk meninggikan moral, melatih mempertinggi semangat, menghargai nilai-nilai spiritual dan kemanusiaan, mengajarkan sikap dan tingkah laku yang jujur dan bermoral, dan menyiapkan para santri untuk hidup sederhana dan bersih hati.
Tinjauan mengenai pendidikan pesantren lebih jauh dikemukakan oleh M. Dawam Rahardjo (1988: 9), bahwa pondok, dengan cara hidupnya yang bersifat kolektif merupakan salah satu perwujudan atau wajah dari semangat dan tradisi lembaga gotong royong yang umum terdapat di masyarakat pedesaan. Nilai-nilai keagamaan seperti ukhuwah (persaudaraan), ta'awun (tolong menolong atau kooperasi), ittihad (persatuan), thalabul ilmi (menuntut ilmu), ikhlas (iklas), jihad (berjuang), thaat (patuh kepada Tuhan, Rasul, ulama atau kyai sebagai pewaris nabi, dan kepada mereka yang diakui sebagai pemimpin), dan berbagai nilai secara eksplisist tertulis sebagai ajaran islam.
Karakteristik pendidikan pesantren tersebut bermuara pada aspek keterampilan hubungan sosial (relationship skills) para lulusannya di masyarakat, sehingga mereka sering menunjukkan kemampuan penyesuaian diri positif dan mengundang kekaguman sebagian besar masyarakat karena mereka mampu menempatkan diri pada sistuasi yang betul-betul dibutuhkan masyarakat sekitarnya. Manusia adalah makhluk sosial dan apabila tidak memiliki ketrampilan sosial dengan baik dapat mendorong kearah suatu kehidupan yang penuh dengan kesepian dan tekanan. Ketrampilan sosial membantu seseorang untuk menjadi menarik, mendapatkan pekerjaan yang diinginkan, kemajuan karier dan berhubungan dengan orang lain. Karena itu, Knoff and Batsche dalam http://www.nasponline.org. tahun 2002 mengemukakan bahwa keterampilan sosial utama yang perlu dimiliki seseorang, yaitu: (1) Kemampuan untuk memiliki ketertarikan pada situasi sosial; (2) ketrampilan mendengarkan; (3) kesadaran diri; (4) Kemampuan untuk membangun hubungan; (5) Mengelahui bagaimana, kapan dan bagaimana cara pembicaraan tentang diri sendiri (disclosure talking); dan (6) kontak mata.
Seseorang yang memiliki Ketrampilan sosial yang baik memungkinkan untuk mengetahui apa yang harus dikatakan, bagaimana cara menghadapi aneka pilihan, dan bagaimana cara bertindak dalam situasi sosial yang berbeda. Tingkat penguasaan keterampilan sosial dapat mempengaruhi pencapaian kesuksesan akademis, perilaku, sosial dan hubungan keluarga, serta keterlibatan di dalam aktivitas ekstrakurikuler. Ketrampilan social berhubungan juga dengan mutu suatu lingkungan, baik keluarga, pesantren maupun masyarakat secara luas. Sebab keterampilan sosial yang dimiliki individu dihasilkan melalui interaksi dan pengamatan sehari-hari mereka dengan orang dewasa. Karena itu sangat penting bagi orang tua dan pendidik untuk mengenali perilaku sehari-hari yang berdampak merugikan kepada keselamatan atau pengembangan mereka.
Konsekwensi lemahnya penguasaan ketrampilan social mengakibatkan individu mengalami berbagai kesulitan di dalam hubungan antar pribadi dengan orang tua, para guru, dan teman dekat atau kerabatnya, bahkan tingkat kesulitan belajar dan akademis seseorang sebagai suatu konsekwensi yang tidak langsung (Gwendolyn Cartledge, 1992).
Pesantren sebagai salah satu lembaga pendidikan tempat para santri mempelajari keterampilan sosial hendaknya secara terus menerus meningkatkan jalan untuk membantu para santri mengembangkan ketrampilan sosial positif, baik dalam lingkungan pesantren maupun di dalam masyarakat. Ketrampilan sosial yang dapat dikembangkan pesantren meliputi: (1) manajemen marah; (2) pemahaman tentang pandangan lain; (3) pemecahan masalah; (4) negosiasi hubungan pertemanan; (5) pengendalian konflik; (6) menyatakan diri; (7) mendengarkan; (8) komunikasi efektif; serta (9) toleransi dan penerimaan terhadap kelompok yang berbeda.
Dalam pelaksanaannya, ketrampilan sosial tidak cukup untuk memastikan keberhasilan pesantren; intervensi tidak terbatas pada pengajaran dan pelatihan bagi para santri; tetapi pesantren hendaknya mengembangkan kultur lingkungan yang memudahkan dengan tara menanamkan peningkatan ketrampilan sosial ke dalam suatu sistem rnanajemen pesantren yang menyeluruh dan disiplin, menekankan relationship-building antar para santri; para ustadz dan pimpinan pesantren (Kyai) serta antara pesantren dan keluargakeluarga, serta pesantren menyediakan manajemen perilaku efektif dan instruksi akademis.
Banyak ketrampilan sosial yang penting untuk dijelaskan kepada para santri, pesantren dapat mengorganisir para santri ke dalam empat area ketrampilan:
1.    Keterampilan Survival (mendengarkan, mengikuti arah, menghindari konflik, penggunaan kata-kata yang menarik atau pembicaraan secara terbuka, dan menghargai diri sendiri);
2.    Keterampilan hubungan antar pribadi ( berbagi, meminta ijin, bergabung pada suatu aktivitas, menerima orang lain);
3.    Keterampilan problem-solving (meminta bantuan, minta maaf, menerima konsekwensi, memufuskan apa yang harus dilakukan);
4.    Ketrampilan resolusi konflik (berhadapan dengan sindiran, kegagalan, tuduhan, tidak dihargai, dan tekanan).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar