Sabtu, 22 Februari 2014

Teori ITOP digunakan dalam pelatihan untuk menciptakan sekolah yang aman dan suskses


     Menggunakan Teori ITOP (Individu Theori of Practice) TStanley, 2004)
Teori ITOP digunakan dalam pelatihan untuk menciptakan sekolah yang aman dan suskses. Program ITOP memperkuat program yang sudah ada untuk mempetahankan sekolah yang aman dan kondusif dalam mencapai keberhasilan akademik. Penemuan dari beberapa penelitian (Hazler & Carney, 2000), menyatakan bahwa adanya kebutuhan yang mutlak untuk menciptakan keamanan dalam sekolah, untuk para siswa dan para pegawai di sekolah. Untuk meningkatkan keamanan sekolah, para pendidik percaya pada pelaksanaan  metode pengamanan khusus, meliputi detector logam, satpam, menutup jaringan televise, mengunci pintu dan jendela (kecuali pada satu atau dua gerbang), dan memeriksa loker (Nims, 2000). Meskipun metode ini cukup efektif, tetapi metode pengamanan tradisional juga memberikan dampak negative pada sekolah. Seperti keterbatasan dana sekolah, berkurangnya waktu dalam kelas, dan berkurangnya moral pada guru dan murid. (Glasser, 2000).
ITOP (Invitational Theory of Practice) adalah teori  untuk praktek komunikasi, menjaga pesan-pesan yang dikendekai secara ajeg untuk mengetahui, mengindentifikasi, dan merubah potensi-potensi destrutif. (Stenley, 2004). Ada empat elemen penting ITOP, yaitu : (1) Respek, adalah upaya konselor untuk menghargai siswa, menginvestasi rasa aman bahwa semua orang harus saling menghargai, apabila hal ini bisa tercipta di sekolah, maka kekerasan akan berkurang dan kebersamaan siswa bertambah. (2) Kepercayaan. Rasa percaya siswa pada guru akan diperoleh apabila guru bisa bekerja sama dengan siswa untuk menghargai perasaan baik dan sukses di sekolah. (3) Optimis. Potensi untuk menghargai perasaan baik dan sukses dalam hidup ini merupakan modal masa depan, bisa membantu kita dalam menyelesaikan tugas-tugas kehidupan, membuat kita lebih baik di sekolah dan sukses dalam kehidupan. (4) Tujuan. Tujuan merupakan faktor paling penting dalam terapi keberhasilan dan hidup yang sehat ini.
ITOP menggunakan pendekatan holistic yang melibatkan semua orang dan semua hal dalam lingkungan sekolah. Faktor-faktor penting yang perlu diperhatikan dalam pelaksanaan ITOP adalah lima Ps (People, place, policies, programs, dan processes).
§  People
Dalam usaha untuk menjaga keamanan dan kesuksesan semua orang di sekolah, orang merupakan faktor yang paling utama. Menurut Barth (1990), faktor utama dalam keberhasilan siswa adalah kualitas hubungan antara para anggota sekolah. Ketika semua orang berpartisipasi dalam mengembangkan keamanan sekolah dan kesuksesan akademik, maka mereka semua akan memiliki perasaan kebersamaan. Tujuan sekolah yang paling penting adalah dimana semua orang dalam sekolah tersebut merasa diakui.
§  Places
Tempat awal untuk membuat sekolah lebih menarik adalah lingkungan sekolah. Banyak siswa yang mengeluhkan ruangan istirahat, cat tembok yang terkelupas, kantor yang berantakan, furniture patah, atau jendela yang kotor. Focus ITOP adalah tempat menjadi hal utama untuk lingkungan fisik.
§  Policies
Policies (kebijakan) mengacu pada prosedur, kode-kode, aturan dan pengaturan, baik tertulis maupun tidak, yang berpengaruh besar di sekolah. Sumbangan kebijakan komunikasi sangat kuat pada setiap pendangan, kemampuan, dan pemahaman diri (misalnya kepala sekolah yang bicara pengaruhnya sangat kuat), sehingga kebijakan dapat dijadikan promosi untuk disiplin, jadwal, aspek-aspek yang berkaitan pada kehidupan sekolah yang bisa dievaluasi, dihargai, dan tidak kaku.
§  Programs
Program ITOP berpotensi untuk bisa memfungsikan masyarakat sekolah pada level yang tinggi dan sangat memperhatikan demokrasi. Contohnya, murid-murid diajarkan untuk mengelola perasaan marah dalam kegiatan kelompok (misalnya, bagaimana menghadapi perilaku penggertak, bagaimana menghadapi kesulitan). Program-program ini dilakukan secara tutorial dan bekerja sama dengan aktivitas sekolah. Konselor bisa bekerja sama secar individual dan kelompok kecil dengan siswa yang peduli dengan kesuksesan sekolah, dan mengelola marah.
§  Processes
Proses merupakan cara yang ditempuh untuk memfungsikan keempat hal di atas (People, place, policies, programs). Proses dilakukan secara berkualitas, semangat kooperatif, demokratis, etik, memperhatikan etika dan norma. Memperluas jaringan kerja antara staaf sekolah, guru, murid, dan orang tua.
Langkah pendekatan yang bisa dilakukan dengan cara 1) identifikasi dan mengukur permasalahan. 2) Membentuk partnership, 3) Membuat tujuan pengukuran dan objek, 4) Pengembangan program dan strategi untuk mencapai tujuan, 5) implemestasi rencana, 6) mengevaluasi rencana.

Kamis, 20 Februari 2014

Alternatif Menanggulangi Kekerasan di Sekolah


    Alternatif Menanggulangi Kekerasan di Sekolah
Ada beberapa model untuk menanggulangi kekerasan di sekolah. (1) membangun hubungan, (Smith & Sandhu. 2004) (2) berbasis ekologi (Andrea, 2004) (3) resolusi konflik (Kottler, 1994); (Winslde & Monk, 2000) (4) ITOP (Invitational Theory of Practice) (Stanley, 2004) (5) Mengurangi perilaku penggertak (Newman, 2004)
1.     Membangun Hubungan
Dalam proses membangun hubungan perlu diperhatikan adalah rasa keterhubungan antara siswa dengan unsur-unsur lingkungan, sperti teman sebaya, keluarga (orang tua), sekolah dan masyarakat (Sandhu, 2004).
Dalam membangun hubungan dengan keluarga (Orang tua) ada dua hal :
1.     Intervensi dasar orang tua dan keluarga. Intervensi ini merupakan pendekatan untuk menolong orang tua mengembangkan komunikasi yang lebih baik dantrampil untuk menyelesaikan konflik dan mendidik orang tua mengetahui faktor-faktor yang memberi kontribusi terhadap tingkah laku kekerasan.
2.     Orang Tua sebagai pelaku emosi (Gottman, dkk, 1996)                               Bermanfaat untuk melatih orang tua sebagai pelatih emosi terhadap anak.
-       Membangun hubungan dengan teman sebaya
Persahabatan merupakan hal penting dalam usaha mendukung anak-anak menjadi orang dewasa. Siswa-siswa yang suka berteman lebih bahagia di sekolah, memperoleh penyesuaian psikis dan emosional sehingga mengurangi tingkah laku agresif dan kekerasan. Upaya-upaya pendidikan keseharan secara komprehensif mulai TK sampai SMA, meliputi :
a.      Penekanan pada pribadi dan pelatihan, keterampilan sosial.
b.     Memajukan nilai-nilai sosial positif dan sikap-sikap yang sehat.
c.      Peningkatan kejujuran, informasi yang relevan tentang isu-isu keshatan termasuk kekerasan.

Menurut Goleman (1995), bahwa emosi seseorang sama atau lebih penting daripada intelegensi dan menjadi predictor dari kesuksesan hidup. Selanjutnya Goleman (1995) & Salovery (1990) mengindentifikasi bahwa ada 5 domain emosi yang penting dan berfungsi untuk mencapai sukses : (1) Self-awareness (kesadaran diri sendiri), (2) self-awareness untuk orang lain, (3) mengelola emosi, (4) memotivasi diri sendiri, (5) menegoisasi untuk memecahkan konflik. Bernegoisasi untuk memecahkan konflik melalui beberapa keterampilan dasar interpesrsonal seperti kerjasama, memecahkan masalah, empati.
Peran konselor ada 3 hal, yaitu : (1) membangun iklim yang respek di dalam sekolah. (2) bekerja sama dengan guru-guru dan siswa dalam mengembangkan keterampilan emosi. (3) sebagai konsultan keshatan mental, berkomunikasi secara efektif dengan orang tua, menjadi model dalam keterampilan personal, memecahkan konflik secara efektif dan memelihara rasa keterhubungan dengan siswa.

2.     Pencagahan kekerasan berbasis ekologi.
Pencegahan kekerasan berbasis ekologi ialah program berdasar pada konteks masyarakat sekolah. Kesadaran ini untuk memperbaiki kembali lingkungan sekitar dengan kondisi positif dan lebih demokratis. Lingkungan local sekolah merupakan representasi ideal untuk mencegah tindak kekerasan yang lebih luas. Dalam sting ekologi, perlu menggali kearifan budaya local yang semakin pudar.
Menurut Walker dan Gresham (1997) yang telah diadaptasi, ada 7 komponen untuk mencegah munculnya kekerasan yang perlu dilakukan,          (1) membangun masyarakat sekolah yang positif. (2) mengartikulasikan harapan dan kinerja semua masyarakat sekolah secara tinggi. (3) Pendidikan yang berorientasi pada nilai dan praktek. (4) Mengutamakan proses layanan siswa yang prima. (5) Menguatkan partispasi siswa dan orang tua serta guru terlibat untuk mengambil kebijakan. (6) Mengembangkan keterampilan sosial dan (7) Memberikan layanan resolusi konflik. Ketujuh komponen tersebut dilakukan dengan metode yang efektif berikut, (1) Mengindentifikasi perilaku agresif yang terjadi di lingkungan sekitar. (2) Melakukan kerja sama dengan kelompok kecil di tengah masyarakat untuk memberikan penyadaran dan melatihkan keberanian untuk menerima realitas kehidupan.
Daniel (1999) layanan pencegahan kekerasan bisa dilakukan oleh pendidik, konselor, guru dan tokok agama, dengan cara untuk membantu individu (1) Mengindentifikasi bagaimana munculnya kekerasan yang dialami oleh orang tersebut. (2) Membangun kesadaran baru. (3) Mengajarkan keterampilan baru untuk usaha keluar dari problem kekerasan (4) Meningkatkan pengetahuannya dengan sumber-sumber lain. Model pencegahan kekerasan berbasis ekologi akan efektif manakala ada support dari pengambil kebijakan (stake holder).

3.     Model Penyelesaian Konflik.
Tindak kekerasan sebagai sebuah konflik dapat ditangani melalui penggunaan strategi “resolusi konflik” sebagai proses komunikasi antara dua atau lebih kelompok yang sedang menyelesaikan sebuah pertikaian melalui bantuan mediator. Seorang mediator berfungsi untuk (a) Mencari penyelesaian konflik dan memulihkan relasi sosial antar kelompok.; (b) Membantu orang menahan diri dari menyalahkan orang lain dan menggantinya dengan berfokus pada pemahaman tentang timbulnya pertikaian dan mendapat dasar umum untuk consensus. (c) Membantu orang mengembangkan sebuah pemahaman yang lebih baij terhadap posisi orang lain; (d) Mengembangkan sebuah hubungan yang didasarkan pada saling menghargai; dan (e) Menodorong kelompok-kelompok merefleksikan pandangan sendiri dan orang lain untuk menyelesaikan pertikaian dengan cara mereka sendiri.
Jalur penyelesaian yang dapat digunakan adalah (a) mediator sebaya, adalah sebuah program resolusi konflik yang menggunakan sejumlah siswa yang terlatih di antara mereka untuk memediasi pertikaian-pertiakain sekolah, dan diharapkan dapat menyebarkan pengalamannya kepada orang lain; (b) Proses kurikulum, adalah pendekatan yang menggunakan waktu kelas untuk mengajarkan resolusi konflik dan keterampilan-keterampilan lainnya kepada siswa (Bodin, et al. 1994 ; dan Gilhooly & Scheuch, 2000).
Kottler (2000), fungsi konselor dapat berjalan dengan baik bila memilik (a) Serangkaian strategi untuk bekerja dengan populasi yang berbeda budaya;   (b) Membantu siswa untuk mersepon secara lebih beradab. (misalnya berdamai); (c) Memperjelas isu-isu yang terlibat; dan (d) Menemukan sumber-sumber yang bermanfaat bagi kelompok.
Penanganan tindak kekerasan di sekolah bagi konselor tentu saja  menuntut tehnik-tehnik yang akurat. Oleh karena siswa pada umumnya di sekolah-sekolah bersifat multicultural, maka tehnik-tehnik lintas budaya patut dipertimbangkan virtualitasnya. Untuk keperluan itu perlu dicermati nilai-nilai budaya yang terdapat di dalam populasi siswa bersangkutan dan dipilih satu atau lebih yang dianggap efektif. Sebagai contoh, budaya “Semai Becharaa” pada masyarakat semau di Afrika yang memandang bahwa perselisihan di antara individu menjadi kerisauan atau tanggung jawab bagi setiap anggota suku (Robarcheck, 1997), atau “Sintuvu Maroso” bagi masyarakat Tana Poso untuk budaya lokas di Indonesia. Nilai yanga terkandung di dalam “Semai Buchara” mengharuskan setiap individu dalam suku diwajibkan membawa setiap konflik kepada kepala suku (konselor sebagai kepala suku di sekolah) untuk segera melakukan resolusi atas konflik tersebut. Demikian halnya di dalam “Sintuvu Maroso” perasn to tua (kepala suku) juga dapatdiemban oleh konselor di sekolah.

Sabtu, 15 Februari 2014

KEKERASAN DI SEKOLAH ? STOP !!!!!!!


Secara umum, kekerasan ialah segala bentuk sikap, perilaku yang berbentuk ancaman, intimidasi yang membuat orang lain menderita (Elliot, Hamburgh, Williams (1998). Kekerasan terjadi di segala ranah kehidupan, di masyarakat, rumah tangga, tempat kerja, kantor, di jalanan serta di sekolah. Kekerasan di sekolah ialah setiap tindakan intimidasi, ancaman, perampokan, vandalisme, serangan fisik, perkosaan, godaan seksual atau pembunuhan yang terjadi di halaman sekolah atau bid-bis yang sedang pergi ked an dari sekolah. (Capozzili & Mc Vey, 2000;Flaherty, 2001).
Untuk melihat tanda-tanda dari adanya kekerasan dengan cara: 1) Social withdrawal, 2) ekses dari terisolasinya perasaan atau kesendirian, 3) ekses dari rasa penolakan, 4) korban kekerasan, 5) rendahnya interes sekolah dan prestasi akademik rendah, 6) tidak dapat mengontrol kemarahan, 7) impulsive, 8) tidak ada toleransi dan prejudice, 9) menganjurkan siswa melaporkan ancaman, 10) membentuk tim multidisipliner (Sciarra, 2004).
Faktor-faktor yang mempengaruhi terjadinya kekerasan yaitu : 1) Faktor biologis, psikologis dan social, ketiganya saling berhubungan. (Ketti, 2001).           2) kurangnya latihan penyelesaian konflik, 3) bertambahnya geng-geng, 4) kesan-kesan yang dimuat oleh televise. 5) meningkatnya mainan-mainan video. 6) meningkatnya situs-situs internet. 7) faktor keluarga, 8) faktor sekolah. 9) Faktor hubungan dengan teman sebaya, dan kelompoknya, dan 10) faktor lingkungan.
Sekurang-kurangnya, ada 9 bentuk kekerasan di sekolah. 1) kekerasan fisik, 2) kekerasan gender dan seksual, 3) kekerasan di media, 4) kurang ketatnya disiplin sekolah. 5) kenakalan yang dimiliki oleh teman sebaya, 6) geng, 7) kekerasan rasial budaya, kekerasan di sekola meliputi julukan-julukan rasial, dan symbol-simbol,    8) kekerasan ekonomi politik. 9) kekerasan terhadap diri sendiri. (Hart, 2002); (Michael, 2004); (Dally, 1995); (Aspy, dkk). (Hughes & Hasbrouk, 1996).
Kekerasan fisik meliputi hiperaktif, agresif, dan stereotype, dan antisocial. Perilaku antisocial seperti mencuri, destruktif, menggunakan abat-obatand  dan alcohol, adalah sekelompok penyebab resiko kekerasan. Kekerasan terhadap anak-anak sekolah seringkali direkrut untuk menjadi kurir bagi jaringan kejahatan internasional. Misalnya, anak-anak dan remaja dijadikan sebagai pengguna dan pengedar sabu-sabu. Kekerasan gender dan seksual, mengakibatkan peuluhan anak-anak dan perempuan mengalami penyiksaan fisik dan psikis. Gangguan seksual (harasemnet sexual)  di sekolah. Gangguan seksual di sekolah : 1) teacher to student harassement, 2) student to student harassement. Pelecehan seksual yang terorganisir bisnis prostitusi. Perdagangan manusia adalah bentuk kekerasan seksual yang terselubung oleh dunia hiburan dan pariwisata. Faktor keluarga yaitu kriminalitas pada orang tua, kekerasan pada saat anak-anak, miskinnya praktik pengelolaan keluarga. (lemahnya disiplin, miskinnya perhatian, kekerasan yang terbuka di rumah), rendahnya keterlibatan orang tua pada masalah yang dihadapi anak, adanya hubungan yang jauh antara orang tua dan anak. Kekerasan di media ditandai dengan aneka tayangan pornografi dan pornoaksi. Sejak tayangan pembunuhan marak di media elektronik.
Peneliti pada 202 siswa laki-laki yang tergolong nakal berkaitan dengan kendaraan bermotor. Hasilnya menunjukkan, bahwa tingkah laku menyerang sering dilakukan oleh anak-anak yang mempunyai orang tua single parent, hanya ada ibu, punya saudara kandung atau orang tua yang dipengaruhi oleh tindak criminal, seperti perokok, alcohol, pengguna mariyuana sejak kecil, diberi uang untuk membeli kokain atau berteman dengan orang-orang yang menjual obat terlarang, tetapi mereka berprestasi pada matematika, tidak pada bahasa, rata-rata sering dikeluarkan dari kelas, kenakalan seks didi, dan berganti-ganti pasangan, tidak ada keinginan untuk mencapai pendidikan yang lebih tinggi (Dalley & Onwuegbuzie, 1995). Penelitian berikutnya menemukan bahwa kekerasan menunjukkan keterlibatan tingkah laku yang beresiko berbahaya dan yang membawa senjata diprediksikan berpengaruh tindak kekerasan (Flisher ^ Krimer, 2000 & Resnick dkk 1997).
Kekerasan dapat juga bersumber dari faktor ekonomi yang tersedia dalam keluarga. Pendapatan keluarga ditunjukkan pada perlindungan pemuda dari keluarga kaya, kurang terpengaruh dalam penggunaan senjata (Blum, dkk. 2000). Meskipun begitu sejumlah anak yang berada di bawah garis kemiskinan dan mengalami kemunduran juga terpengaruh tindak kekerasan, di samping itu perbedaan etnik dan struktur keluarga miskin terpengaruh juga. Hal itu terbukti, bahwa 27% anak-anak perempuan kulit putih, sedang 44% perempuan kulit hitam tergolong miskin (Faninghetti, 1998). Keluarga dari ekonomi kurang, berarti anak-anaknya tidak mendapatkan perawatan kesehatan yang baik, keterampilan membaca kurang, hidup dalam lingkungan kriminalitas yang tinggi dan mengalami banyak kekerasan dan lebih banyak kecemasan dan lebih banyak yang hidup di lingkungan yang kacau balau, kurang bertanggung jawab terhadap diri sendiri dan terbatas hubungannya dengan orang-orang dewasa (Aspy & Sandhu, 1999). Tambahan lagi, bahwa resiko dari single parent, orang tua yang masih umur belasan (muda) dan anak-anak dari orang tua tersebut mempunyai resiko signifikan terhadap kekerasan (Levine, dkk. 2000)
Kemungkinan terjadi droup-out di sekolah bagi pemuda dipengaruhi oleh kekerasan, dan dikeluarkan dari sekolah upaya untuk mengintervensinya menjadi lebih sulit. (Stephens, 1997). Stephens menemukan juga bahwa membolos dan droup-out tidak hanya berkait dengan kenakalan remaja tetapi ada juga kaitannya dengan tindak criminal orang dewasa. Secara khusus is mencatat, bahwa droup-out  itu ada sembilan puluh lima kali kasus siswa (sering bolos), sekolah tetap bertanggung jawab tentang studi mereka, karena mereka mempunyai potensi untuk berhasil dalam menciptakan peran prososial yang tinggi baik di sekolah maupun di masyarakat dimana sekolah itu berada (Van Acker, 1996)
Ada kasus criminal, diantara sekolah-sekolah SMA, secara signifikan terjadi kemunduran dalam proporsi pemuda yang terlihat dalam perkelahian phisik, dari 42% (1991) menjadi 35,7% (1999) laporan dari Centers for Disease Control and Prevention/CDCP, 2000). Meskipun kemunduran itu menunjukkan tanda positif, tetapi tidak benar untuk pemuda pada semua umur, gender, pendapatan keluarga atau struktur  keluarga (Boggess, dkk, 2000). Kenyataannya, bahwa lebih dari 1/3 siswa masih ada keterlibatannya dengan perkelahian,paling tidak 1x selama 12 bulan terakhir dan 9,3% dari pemuda itu membawa senjata ke sekolah (Kodjo, dkk. 2003), hal ini mengindikasikan, bahwa masalah itu tetap ada dan patut disayangkan, bahwa kekerasan itu berlaku untuk semua umur, etnik dan kelompok sosial ekonomi, yang berpengaruh pada kekerasan dengan kelompok yang tidak proposional (Gangs

Kamis, 13 Februari 2014

KONSELING, PEMBELAJARAN DAN KREATIVITAS


KONSELING, PEMBELAJARAN DAN
KREATIVITAS

KONSELING sering dipandang sebagai intinya bimbingan, "counseling is the heart of guidance " (Mortensen & Schumuller: 1959), demikian juga dengan pengajaran atau pembelajaran dipandang sebagai kegiatan utama pendidikan. Apakah itu benar? Mengapa demikian? Apakah ada persamaan dan hubungan antara konseling dengan pembelajaran?
Banyak layanan dan teknik yang dapat dilakukan dalam bimbingan, seperti pemberian informasi, bantuan penempatan, wawancara, pemberian nasihat, pengukuran, diskusi, bermain peran, sosiodrama, psikodrama, konsultasi langsung, konsultasi melalui internet, dll., tetapi itu semua bukan atau belum tentu konseling. Di dalamnya mungkin ada penerapan dari fungsi atauprinsip konseling, tetapi secara utuh bukan konseling. Memang beberapa literatur mengartikan konseling secara luas, mencakup bimbingan.
Konseling memiliki karakteristik khusus, selain dalam sifat hubungannya tetapi juga dalam fungsi terapeutiknya. Konseling merupakan hubungan antara dua pribadi "a person to person relationship" atatu pertemuan langsung "a direct meeting", meeting atau pertemuan ini, mempunyai makna yang lebih jauh, bukan hanya pertemuan secara fisik, tetapi pertemuan mental, pertemuann rohaniah, pertemuan dua pribadi atau "a meeting of mind”. Terutama klien menemukan- apa yang dia butuhkan, “apa yang dia cari" dalam pengembangan dirinya atau untuk mengatasi masalah yang dia hadapi.
Sasaran utama dari layanan konseling adalah perubahan sikap dan perilaku (Carl R. Rogers). Sikap merupakan bidang afelcif, menyangkut segi-segi emosi, perasaan, motivasi, nilai-nilai, dan sikap ini mendasari perilaku. Perilaku seseorang akan berubah apabila ada perubahan dalam sikapnya. Perubahan sikap sulit sekali dapat terjadi hanya melalui pemberian informasi, nasihat atau diskusi-diskusi biasa. Perubahan sikap membutuhkan dasar hubungan atau pertalian emosional tertentu antara klien dengan konselornya. Seorang klien yang mempunyai rasa bersalah yang sangat besar, merasa dibenci dan dimusuhi oleh banyak orang akan berubah sikap dan pdiasaannya hanya karena diterima dengan senyum dengan kehangatan oleh konselomya. Konseling berlangsung melalui wawancara (counseling interview), tetapi pertanyaan-pertanyaan konselor hanya merupakan media konseling, yang lebih mendasar adalah kepribadian konselor, jalinan hubungan antara keduanya serta makna pernyataan konselor.
Perubahan sikap terjadi karena adanya insight (pemahaman) terutama emotional insight, pada diri klien. iujuan dari proses konseling adalah menumbuhkan emosional insight sebanyak-banyaknya. Konseling yang berhasil adalah yang banyak menumbuhkan emosional insight pada kliennya. Emosional insight tercapai apabila ada pertemuan mental atau "meeting of mind” antara klien dengan konselor. Pertemuan demikian biasanya melekat lama, dan sering diingat oleh klien.
Dalam interaksi konseling, konselor tidak memberikan sesuatu kepada kliennya, dia hanya menciptakan situasi yang permisif, kondusif, akrab, bersahabat, memberikan pertanyaanpertanyaan yang memungkinkan kliennya berpikir, merasakan, melakukan analisis dan evaluasi diri, analisis masalah dan lingkungan, dan berkat itu semua dia sendiri menemukan dirinya (discover himself atau invent himself), menemukan potensi, .kekuatan, hal-hal berharga yang ada pada dirinya. Berkat penemuan tersebut dia mampu melihat dan menerima dirinya lebih objektif, mampu memecahkan masalah yang dihadapinya, mampu merancang, membuat keputusan dan melakukan pengembangan dirinya. Tujuan konseling adalah membantu klien agar klien mandiri, mampu memecahkan sendiri masalahnya, tnampu membuat keputusan yang tepat bagi dirinya mampu merancang masa depannya sendiri, mampu mengembangkan potensi dan kekuatan-kekuatan yang ada dalam dirinya.
PEMBELAJARAN atau pengajaran (teaching) merupakan kegiatan utama pendidikan. Pendidikan dilakukan melaiui kegiatan pengasuhan, bimbingan, pelatihan dan pembelajaran. Pengasuhan lebih banyak difokuskan pada pengembangan segi fisik dan nilai, terutama pada masa anak, pada masa pemula pengasuhan masihberlanjut tetapi lebih ditekankan pada segi nilai. Bimbingan (dan konseling) lebih banyak difokuskan kepada perkembangan kepribadian khususnya segi afektif dan sosial. Pelatihan lebih banyak difokuskan pada pengembangan segi keterampilan, baik keterampilan fisik-motorik maupun intelektual dan sosial.Pembelajaran atau pengajaran lebih banyak difokuskan pada perkembangan segi kognitif atau intelektual. Bila pembelajaran lebih difokuskan pada pengembangan segi kognitif, tidak berarti pengembangan segi-segi lain diabaikan, semua segi dikembangkan tetapi fokus utamanya adalah pengembangan kognitif. Demikian juga dengan kegiatan-kegiatan pendidikan lainnya.
Pembelajaran dapat dilakukan melalui pemberian informasi (ceramah), tanya-jawab, diskusi, seminar, bermain peran, pemberian tugas, pengamatan, percobaan, penelitian, pemecahan masalah dsb., tetapi itu semua merupakan metode atau model dalam pembelajaran. Pembel ajaran atau pengaj aran pada dasarnya merupakan upaya guru menciptakan situasi agar siswa belajar (Orstein, 1990; Joyce, Weil & Showers, 2000). Upaya itu dapat berupa penciptaan suasana kelas, penyediaan sumber dan media belajar, pengelompokan siswa, penggunaan model-model dan metode pembelajaran. Sasaran utama dari pembelajaran adalah agar siswa belajar. Betapapun baiknya rancangan yang dibuat, sarana dan fasilitas yang disediakan, dan cara penyampaian yang dilakukan oleh guru, tetapi kalau siswanya tidak atau sedikit sekali belajar, maka pembelajaran tersebut kurang berhasil.
Pembelajaran tidak hanya sekedar penggunaan metode dan penyampaian materi ajaran, tetapi lebih dari itu, berupa penciptaan situasi, pembangkitan motivasi, hubungan yang akrab, dll., agar siswa aktif belajar. Pembelajaran dan belajar adalah dua sisi dari satu mata uang, pembelajaran adalah aktivitas yang dilakukan guru, sedang belajar adalah aktivitas yang dilakukan siswa. Keberhasilan pembelajaran dilihat dari aktivitas dan kemajuan-kemajuan yang terjadi pada siswa. Melalui berbagai kegiatan dan pengalaman belajar yang dilakukan siswa, berkembang seluruh aspek kepribadian dan kemampuan siswa.
Pembelajaran dapat berkenaan dengan penguasaan pengetahuan, kompetensi, keterampilan, sikap-nilai, dan kemampuan berpikir. Di antara ke lima aspek tersebut penguasaan sikap-nilai dan kemampuan berpikir memegang peranan utama. Penguasaan pengetahuan tidak berhenti pada mengetahui dan memahami sejumlah fakta, konsep, dan teori, tetapi bagaimana penerapan atau penggunaan dari hal-hal tersebut agar bermanfaat bagi diri siswa dan lingkungannya. Penguasaan pengetahuan membutuhkan kemampuan berpikir, sedang penggunaan pengetahuan membutuhkan kemampuan berpikir dan penguasaan sikail dan nilai. Keterampilan dan kompetensi sederhana dikuasai melalui latihan, tetapi keterampilan dan kompetensi tahap tinggi membutuhkan dukungan kemampuan berpikir dan sikap-nilai.
Keterampilan tahap tinggi berkenaan dengan keterampilan social umpamanya keterampilan memimpin, berbicara di depan umum dan keterampilan intelektual umpamanya keterampilan membuat program komputer, merencanakan perbaikan rumah, sangat membutuhkan dukungan kemampuan berpikir dan sikap-nilai. Kompetensi tahap tinggi berkenaan dengan penguasaan keahlian dan profesi, seperti keahlian dalam penelitian, bahasa, matematika, dan lain-lain, profesi sebagai dokter, guru, pengacara, dan lain-lain, keduanya sangat membutuhkan dasar dan penguasaan kemampuan berpikir dan sikap-nilai.
PUNCAK dari kemampuan berpikir adalah kemampuan memecahkan masalah dan kreativitas (Anderson & Krathwohl: 2000). Penguasaan kemampuan memecahkan masalah dan kreatif saja belum cukup, sebab perlu didukung dan dibingkai oleh sikap dan nilai. Kemampuan memecahkan masalah dan berkreasi perlu dimotori, didorong oleh motivasi, kemamuan untuk memecahkan masalah untuk berkreasi. Pemecahan masalah dan kreativitas juga harus dibingkai atau dipagari oleh nilai, agar pengembangannya ke arah kemaslahatan dirinya dan lingkungannya