Alternatif Menanggulangi Kekerasan di Sekolah
Ada beberapa model untuk menanggulangi kekerasan di sekolah. (1)
membangun hubungan, (Smith & Sandhu. 2004) (2) berbasis ekologi (Andrea,
2004) (3) resolusi konflik (Kottler, 1994); (Winslde & Monk, 2000) (4) ITOP
(Invitational Theory of Practice)
(Stanley, 2004) (5) Mengurangi perilaku penggertak (Newman, 2004)
1. Membangun Hubungan
Dalam proses membangun hubungan perlu
diperhatikan adalah rasa keterhubungan antara siswa dengan unsur-unsur
lingkungan, sperti teman sebaya, keluarga (orang tua), sekolah dan masyarakat
(Sandhu, 2004).
Dalam membangun hubungan dengan
keluarga (Orang tua) ada dua hal :
1.
Intervensi dasar orang tua dan keluarga.
Intervensi ini merupakan pendekatan untuk menolong orang tua mengembangkan
komunikasi yang lebih baik dantrampil untuk menyelesaikan konflik dan mendidik
orang tua mengetahui faktor-faktor yang memberi kontribusi terhadap tingkah
laku kekerasan.
2.
Orang Tua sebagai pelaku emosi
(Gottman, dkk, 1996) Bermanfaat untuk
melatih orang tua sebagai pelatih emosi terhadap anak.
-
Membangun hubungan dengan teman
sebaya
Persahabatan merupakan hal penting
dalam usaha mendukung anak-anak menjadi orang dewasa. Siswa-siswa yang suka
berteman lebih bahagia di sekolah, memperoleh penyesuaian psikis dan emosional
sehingga mengurangi tingkah laku agresif dan kekerasan. Upaya-upaya pendidikan
keseharan secara komprehensif mulai TK sampai SMA, meliputi :
a.
Penekanan pada pribadi dan
pelatihan, keterampilan sosial.
b.
Memajukan nilai-nilai sosial
positif dan sikap-sikap yang sehat.
c.
Peningkatan kejujuran,
informasi yang relevan tentang isu-isu keshatan termasuk kekerasan.
Menurut Goleman (1995), bahwa emosi
seseorang sama atau lebih penting daripada intelegensi dan menjadi predictor
dari kesuksesan hidup. Selanjutnya Goleman (1995) & Salovery (1990)
mengindentifikasi bahwa ada 5 domain emosi yang penting dan berfungsi untuk
mencapai sukses : (1) Self-awareness (kesadaran diri sendiri), (2) self-awareness
untuk orang lain, (3) mengelola emosi, (4) memotivasi diri sendiri, (5)
menegoisasi untuk memecahkan konflik. Bernegoisasi untuk memecahkan konflik
melalui beberapa keterampilan dasar interpesrsonal seperti kerjasama,
memecahkan masalah, empati.
Peran konselor ada 3 hal, yaitu : (1)
membangun iklim yang respek di dalam sekolah. (2) bekerja sama dengan guru-guru
dan siswa dalam mengembangkan keterampilan emosi. (3) sebagai konsultan
keshatan mental, berkomunikasi secara efektif dengan orang tua, menjadi model
dalam keterampilan personal, memecahkan konflik secara efektif dan memelihara
rasa keterhubungan dengan siswa.
2. Pencagahan kekerasan
berbasis ekologi.
Pencegahan kekerasan berbasis ekologi
ialah program berdasar pada konteks masyarakat sekolah. Kesadaran ini untuk
memperbaiki kembali lingkungan sekitar dengan kondisi positif dan lebih
demokratis. Lingkungan local sekolah merupakan representasi ideal untuk
mencegah tindak kekerasan yang lebih luas. Dalam sting ekologi, perlu menggali
kearifan budaya local yang semakin pudar.
Menurut Walker dan Gresham (1997) yang telah diadaptasi, ada 7
komponen untuk mencegah munculnya kekerasan yang perlu dilakukan, (1) membangun masyarakat sekolah yang
positif. (2) mengartikulasikan harapan dan kinerja semua masyarakat sekolah
secara tinggi. (3) Pendidikan yang berorientasi pada nilai dan praktek. (4)
Mengutamakan proses layanan siswa yang prima. (5) Menguatkan partispasi siswa
dan orang tua serta guru terlibat untuk mengambil kebijakan. (6) Mengembangkan
keterampilan sosial dan (7) Memberikan layanan resolusi konflik. Ketujuh
komponen tersebut dilakukan dengan metode yang efektif berikut, (1)
Mengindentifikasi perilaku agresif yang terjadi di lingkungan sekitar. (2)
Melakukan kerja sama dengan kelompok kecil di tengah masyarakat untuk
memberikan penyadaran dan melatihkan keberanian untuk menerima realitas
kehidupan.
Daniel (1999) layanan pencegahan
kekerasan bisa dilakukan oleh pendidik, konselor, guru dan tokok agama, dengan
cara untuk membantu individu (1) Mengindentifikasi bagaimana munculnya
kekerasan yang dialami oleh orang tersebut. (2) Membangun kesadaran baru. (3)
Mengajarkan keterampilan baru untuk usaha keluar dari problem kekerasan (4)
Meningkatkan pengetahuannya dengan sumber-sumber lain. Model pencegahan
kekerasan berbasis ekologi akan efektif manakala ada support dari pengambil kebijakan (stake holder).
3. Model Penyelesaian
Konflik.
Tindak kekerasan sebagai sebuah
konflik dapat ditangani melalui penggunaan strategi “resolusi konflik” sebagai proses komunikasi antara dua atau lebih
kelompok yang sedang menyelesaikan sebuah pertikaian melalui bantuan mediator.
Seorang mediator berfungsi untuk (a) Mencari penyelesaian konflik dan
memulihkan relasi sosial antar kelompok.; (b) Membantu orang menahan diri dari
menyalahkan orang lain dan menggantinya dengan berfokus pada pemahaman tentang
timbulnya pertikaian dan mendapat dasar umum untuk consensus. (c) Membantu
orang mengembangkan sebuah pemahaman yang lebih baij terhadap posisi orang
lain; (d) Mengembangkan sebuah hubungan yang didasarkan pada saling menghargai;
dan (e) Menodorong kelompok-kelompok merefleksikan pandangan sendiri dan orang
lain untuk menyelesaikan pertikaian dengan cara mereka sendiri.
Jalur penyelesaian yang dapat
digunakan adalah (a) mediator sebaya,
adalah sebuah program resolusi konflik yang menggunakan sejumlah siswa yang
terlatih di antara mereka untuk memediasi pertikaian-pertiakain sekolah, dan
diharapkan dapat menyebarkan pengalamannya kepada orang lain; (b) Proses kurikulum, adalah pendekatan yang
menggunakan waktu kelas untuk mengajarkan resolusi konflik dan
keterampilan-keterampilan lainnya kepada siswa (Bodin, et al. 1994 ; dan
Gilhooly & Scheuch, 2000).
Kottler (2000), fungsi konselor dapat
berjalan dengan baik bila memilik (a) Serangkaian strategi untuk bekerja dengan
populasi yang berbeda budaya; (b)
Membantu siswa untuk mersepon secara lebih beradab. (misalnya berdamai); (c)
Memperjelas isu-isu yang terlibat; dan (d) Menemukan sumber-sumber yang
bermanfaat bagi kelompok.
Penanganan tindak kekerasan di
sekolah bagi konselor tentu saja
menuntut tehnik-tehnik yang akurat. Oleh karena siswa pada umumnya di
sekolah-sekolah bersifat multicultural, maka tehnik-tehnik lintas budaya patut
dipertimbangkan virtualitasnya. Untuk keperluan itu perlu dicermati nilai-nilai
budaya yang terdapat di dalam populasi siswa bersangkutan dan dipilih satu atau
lebih yang dianggap efektif. Sebagai contoh, budaya “Semai Becharaa” pada
masyarakat semau di Afrika yang memandang bahwa perselisihan di antara individu
menjadi kerisauan atau tanggung jawab bagi setiap anggota suku (Robarcheck,
1997), atau “Sintuvu Maroso” bagi masyarakat Tana Poso untuk budaya lokas di Indonesia.
Nilai yanga terkandung di dalam “Semai Buchara” mengharuskan setiap individu
dalam suku diwajibkan membawa setiap konflik kepada kepala suku (konselor
sebagai kepala suku di sekolah) untuk segera melakukan resolusi atas konflik
tersebut. Demikian halnya di dalam “Sintuvu Maroso” perasn to tua (kepala suku) juga dapatdiemban oleh konselor di sekolah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar