Sabtu, 15 Februari 2014

KEKERASAN DI SEKOLAH ? STOP !!!!!!!


Secara umum, kekerasan ialah segala bentuk sikap, perilaku yang berbentuk ancaman, intimidasi yang membuat orang lain menderita (Elliot, Hamburgh, Williams (1998). Kekerasan terjadi di segala ranah kehidupan, di masyarakat, rumah tangga, tempat kerja, kantor, di jalanan serta di sekolah. Kekerasan di sekolah ialah setiap tindakan intimidasi, ancaman, perampokan, vandalisme, serangan fisik, perkosaan, godaan seksual atau pembunuhan yang terjadi di halaman sekolah atau bid-bis yang sedang pergi ked an dari sekolah. (Capozzili & Mc Vey, 2000;Flaherty, 2001).
Untuk melihat tanda-tanda dari adanya kekerasan dengan cara: 1) Social withdrawal, 2) ekses dari terisolasinya perasaan atau kesendirian, 3) ekses dari rasa penolakan, 4) korban kekerasan, 5) rendahnya interes sekolah dan prestasi akademik rendah, 6) tidak dapat mengontrol kemarahan, 7) impulsive, 8) tidak ada toleransi dan prejudice, 9) menganjurkan siswa melaporkan ancaman, 10) membentuk tim multidisipliner (Sciarra, 2004).
Faktor-faktor yang mempengaruhi terjadinya kekerasan yaitu : 1) Faktor biologis, psikologis dan social, ketiganya saling berhubungan. (Ketti, 2001).           2) kurangnya latihan penyelesaian konflik, 3) bertambahnya geng-geng, 4) kesan-kesan yang dimuat oleh televise. 5) meningkatnya mainan-mainan video. 6) meningkatnya situs-situs internet. 7) faktor keluarga, 8) faktor sekolah. 9) Faktor hubungan dengan teman sebaya, dan kelompoknya, dan 10) faktor lingkungan.
Sekurang-kurangnya, ada 9 bentuk kekerasan di sekolah. 1) kekerasan fisik, 2) kekerasan gender dan seksual, 3) kekerasan di media, 4) kurang ketatnya disiplin sekolah. 5) kenakalan yang dimiliki oleh teman sebaya, 6) geng, 7) kekerasan rasial budaya, kekerasan di sekola meliputi julukan-julukan rasial, dan symbol-simbol,    8) kekerasan ekonomi politik. 9) kekerasan terhadap diri sendiri. (Hart, 2002); (Michael, 2004); (Dally, 1995); (Aspy, dkk). (Hughes & Hasbrouk, 1996).
Kekerasan fisik meliputi hiperaktif, agresif, dan stereotype, dan antisocial. Perilaku antisocial seperti mencuri, destruktif, menggunakan abat-obatand  dan alcohol, adalah sekelompok penyebab resiko kekerasan. Kekerasan terhadap anak-anak sekolah seringkali direkrut untuk menjadi kurir bagi jaringan kejahatan internasional. Misalnya, anak-anak dan remaja dijadikan sebagai pengguna dan pengedar sabu-sabu. Kekerasan gender dan seksual, mengakibatkan peuluhan anak-anak dan perempuan mengalami penyiksaan fisik dan psikis. Gangguan seksual (harasemnet sexual)  di sekolah. Gangguan seksual di sekolah : 1) teacher to student harassement, 2) student to student harassement. Pelecehan seksual yang terorganisir bisnis prostitusi. Perdagangan manusia adalah bentuk kekerasan seksual yang terselubung oleh dunia hiburan dan pariwisata. Faktor keluarga yaitu kriminalitas pada orang tua, kekerasan pada saat anak-anak, miskinnya praktik pengelolaan keluarga. (lemahnya disiplin, miskinnya perhatian, kekerasan yang terbuka di rumah), rendahnya keterlibatan orang tua pada masalah yang dihadapi anak, adanya hubungan yang jauh antara orang tua dan anak. Kekerasan di media ditandai dengan aneka tayangan pornografi dan pornoaksi. Sejak tayangan pembunuhan marak di media elektronik.
Peneliti pada 202 siswa laki-laki yang tergolong nakal berkaitan dengan kendaraan bermotor. Hasilnya menunjukkan, bahwa tingkah laku menyerang sering dilakukan oleh anak-anak yang mempunyai orang tua single parent, hanya ada ibu, punya saudara kandung atau orang tua yang dipengaruhi oleh tindak criminal, seperti perokok, alcohol, pengguna mariyuana sejak kecil, diberi uang untuk membeli kokain atau berteman dengan orang-orang yang menjual obat terlarang, tetapi mereka berprestasi pada matematika, tidak pada bahasa, rata-rata sering dikeluarkan dari kelas, kenakalan seks didi, dan berganti-ganti pasangan, tidak ada keinginan untuk mencapai pendidikan yang lebih tinggi (Dalley & Onwuegbuzie, 1995). Penelitian berikutnya menemukan bahwa kekerasan menunjukkan keterlibatan tingkah laku yang beresiko berbahaya dan yang membawa senjata diprediksikan berpengaruh tindak kekerasan (Flisher ^ Krimer, 2000 & Resnick dkk 1997).
Kekerasan dapat juga bersumber dari faktor ekonomi yang tersedia dalam keluarga. Pendapatan keluarga ditunjukkan pada perlindungan pemuda dari keluarga kaya, kurang terpengaruh dalam penggunaan senjata (Blum, dkk. 2000). Meskipun begitu sejumlah anak yang berada di bawah garis kemiskinan dan mengalami kemunduran juga terpengaruh tindak kekerasan, di samping itu perbedaan etnik dan struktur keluarga miskin terpengaruh juga. Hal itu terbukti, bahwa 27% anak-anak perempuan kulit putih, sedang 44% perempuan kulit hitam tergolong miskin (Faninghetti, 1998). Keluarga dari ekonomi kurang, berarti anak-anaknya tidak mendapatkan perawatan kesehatan yang baik, keterampilan membaca kurang, hidup dalam lingkungan kriminalitas yang tinggi dan mengalami banyak kekerasan dan lebih banyak kecemasan dan lebih banyak yang hidup di lingkungan yang kacau balau, kurang bertanggung jawab terhadap diri sendiri dan terbatas hubungannya dengan orang-orang dewasa (Aspy & Sandhu, 1999). Tambahan lagi, bahwa resiko dari single parent, orang tua yang masih umur belasan (muda) dan anak-anak dari orang tua tersebut mempunyai resiko signifikan terhadap kekerasan (Levine, dkk. 2000)
Kemungkinan terjadi droup-out di sekolah bagi pemuda dipengaruhi oleh kekerasan, dan dikeluarkan dari sekolah upaya untuk mengintervensinya menjadi lebih sulit. (Stephens, 1997). Stephens menemukan juga bahwa membolos dan droup-out tidak hanya berkait dengan kenakalan remaja tetapi ada juga kaitannya dengan tindak criminal orang dewasa. Secara khusus is mencatat, bahwa droup-out  itu ada sembilan puluh lima kali kasus siswa (sering bolos), sekolah tetap bertanggung jawab tentang studi mereka, karena mereka mempunyai potensi untuk berhasil dalam menciptakan peran prososial yang tinggi baik di sekolah maupun di masyarakat dimana sekolah itu berada (Van Acker, 1996)
Ada kasus criminal, diantara sekolah-sekolah SMA, secara signifikan terjadi kemunduran dalam proporsi pemuda yang terlihat dalam perkelahian phisik, dari 42% (1991) menjadi 35,7% (1999) laporan dari Centers for Disease Control and Prevention/CDCP, 2000). Meskipun kemunduran itu menunjukkan tanda positif, tetapi tidak benar untuk pemuda pada semua umur, gender, pendapatan keluarga atau struktur  keluarga (Boggess, dkk, 2000). Kenyataannya, bahwa lebih dari 1/3 siswa masih ada keterlibatannya dengan perkelahian,paling tidak 1x selama 12 bulan terakhir dan 9,3% dari pemuda itu membawa senjata ke sekolah (Kodjo, dkk. 2003), hal ini mengindikasikan, bahwa masalah itu tetap ada dan patut disayangkan, bahwa kekerasan itu berlaku untuk semua umur, etnik dan kelompok sosial ekonomi, yang berpengaruh pada kekerasan dengan kelompok yang tidak proposional (Gangs

Tidak ada komentar:

Posting Komentar