Secara umum, kekerasan ialah segala bentuk sikap,
perilaku yang berbentuk ancaman, intimidasi yang membuat orang lain menderita
(Elliot, Hamburgh, Williams (1998). Kekerasan terjadi di segala ranah
kehidupan, di masyarakat, rumah tangga, tempat kerja, kantor, di jalanan serta
di sekolah. Kekerasan di sekolah ialah setiap tindakan intimidasi, ancaman,
perampokan, vandalisme, serangan fisik, perkosaan, godaan seksual atau
pembunuhan yang terjadi di halaman sekolah atau bid-bis yang sedang pergi ked
an dari sekolah. (Capozzili & Mc Vey, 2000;Flaherty, 2001).
Untuk melihat tanda-tanda dari adanya kekerasan dengan
cara: 1) Social withdrawal, 2) ekses
dari terisolasinya perasaan atau kesendirian, 3) ekses dari rasa penolakan, 4)
korban kekerasan, 5) rendahnya interes sekolah dan prestasi akademik rendah, 6)
tidak dapat mengontrol kemarahan, 7) impulsive, 8) tidak ada toleransi dan prejudice, 9) menganjurkan siswa
melaporkan ancaman, 10) membentuk tim multidisipliner (Sciarra, 2004).
Faktor-faktor yang mempengaruhi terjadinya kekerasan
yaitu : 1) Faktor biologis, psikologis dan social, ketiganya saling
berhubungan. (Ketti, 2001). 2)
kurangnya latihan penyelesaian konflik, 3) bertambahnya geng-geng, 4)
kesan-kesan yang dimuat oleh televise. 5) meningkatnya mainan-mainan video. 6)
meningkatnya situs-situs internet. 7) faktor keluarga, 8) faktor sekolah. 9)
Faktor hubungan dengan teman sebaya, dan kelompoknya, dan 10) faktor
lingkungan.
Sekurang-kurangnya, ada 9 bentuk kekerasan di sekolah.
1) kekerasan fisik, 2) kekerasan gender dan seksual, 3) kekerasan di media, 4)
kurang ketatnya disiplin sekolah. 5) kenakalan yang dimiliki oleh teman sebaya,
6) geng, 7) kekerasan rasial budaya, kekerasan di sekola meliputi
julukan-julukan rasial, dan symbol-simbol,
8) kekerasan ekonomi politik. 9) kekerasan terhadap diri sendiri. (Hart,
2002); (Michael, 2004); (Dally, 1995); (Aspy, dkk). (Hughes & Hasbrouk,
1996).
Kekerasan fisik meliputi hiperaktif, agresif, dan
stereotype, dan antisocial. Perilaku antisocial seperti mencuri, destruktif,
menggunakan abat-obatand dan alcohol,
adalah sekelompok penyebab resiko kekerasan. Kekerasan terhadap anak-anak
sekolah seringkali direkrut untuk menjadi kurir bagi jaringan kejahatan
internasional. Misalnya, anak-anak dan remaja dijadikan sebagai pengguna dan
pengedar sabu-sabu. Kekerasan gender dan seksual, mengakibatkan peuluhan anak-anak
dan perempuan mengalami penyiksaan fisik dan psikis. Gangguan seksual (harasemnet sexual) di sekolah. Gangguan seksual di sekolah : 1) teacher to student harassement, 2) student to student harassement. Pelecehan seksual yang terorganisir
bisnis prostitusi. Perdagangan manusia adalah bentuk kekerasan seksual yang
terselubung oleh dunia hiburan dan pariwisata. Faktor keluarga yaitu
kriminalitas pada orang tua, kekerasan pada saat anak-anak, miskinnya praktik
pengelolaan keluarga. (lemahnya disiplin, miskinnya perhatian, kekerasan yang
terbuka di rumah), rendahnya keterlibatan orang tua pada masalah yang dihadapi
anak, adanya hubungan yang jauh antara orang tua dan anak. Kekerasan di media
ditandai dengan aneka tayangan pornografi dan pornoaksi. Sejak tayangan
pembunuhan marak di media elektronik.
Peneliti pada 202 siswa laki-laki yang tergolong nakal
berkaitan dengan kendaraan bermotor. Hasilnya menunjukkan, bahwa tingkah laku
menyerang sering dilakukan oleh anak-anak yang mempunyai orang tua single
parent, hanya ada ibu, punya saudara kandung atau orang tua yang dipengaruhi
oleh tindak criminal, seperti perokok, alcohol, pengguna mariyuana sejak kecil,
diberi uang untuk membeli kokain atau berteman dengan orang-orang yang menjual
obat terlarang, tetapi mereka berprestasi pada matematika, tidak pada bahasa,
rata-rata sering dikeluarkan dari kelas, kenakalan seks didi, dan
berganti-ganti pasangan, tidak ada keinginan untuk mencapai pendidikan yang
lebih tinggi (Dalley & Onwuegbuzie, 1995). Penelitian berikutnya menemukan
bahwa kekerasan menunjukkan keterlibatan tingkah laku yang beresiko berbahaya
dan yang membawa senjata diprediksikan berpengaruh tindak kekerasan (Flisher ^
Krimer, 2000 & Resnick dkk 1997).
Kekerasan dapat juga bersumber dari faktor ekonomi yang
tersedia dalam keluarga. Pendapatan keluarga ditunjukkan pada perlindungan
pemuda dari keluarga kaya, kurang terpengaruh dalam penggunaan senjata (Blum,
dkk. 2000). Meskipun begitu sejumlah anak yang berada di bawah garis kemiskinan
dan mengalami kemunduran juga terpengaruh tindak kekerasan, di samping itu
perbedaan etnik dan struktur keluarga miskin terpengaruh juga. Hal itu
terbukti, bahwa 27% anak-anak perempuan kulit putih, sedang 44% perempuan kulit
hitam tergolong miskin (Faninghetti, 1998). Keluarga dari ekonomi kurang,
berarti anak-anaknya tidak mendapatkan perawatan kesehatan yang baik,
keterampilan membaca kurang, hidup dalam lingkungan kriminalitas yang tinggi
dan mengalami banyak kekerasan dan lebih banyak kecemasan dan lebih banyak yang
hidup di lingkungan yang kacau balau, kurang bertanggung jawab terhadap diri
sendiri dan terbatas hubungannya dengan orang-orang dewasa (Aspy & Sandhu,
1999). Tambahan lagi, bahwa resiko dari single parent, orang tua yang masih
umur belasan (muda) dan anak-anak dari orang tua tersebut mempunyai resiko
signifikan terhadap kekerasan (Levine, dkk. 2000)
Kemungkinan terjadi droup-out di sekolah bagi pemuda
dipengaruhi oleh kekerasan, dan dikeluarkan dari sekolah upaya untuk
mengintervensinya menjadi lebih sulit. (Stephens, 1997). Stephens menemukan
juga bahwa membolos dan droup-out tidak hanya berkait dengan kenakalan remaja
tetapi ada juga kaitannya dengan tindak criminal orang dewasa. Secara khusus is
mencatat, bahwa droup-out itu ada
sembilan puluh lima
kali kasus siswa (sering bolos), sekolah tetap bertanggung jawab tentang studi
mereka, karena mereka mempunyai potensi untuk berhasil dalam menciptakan peran
prososial yang tinggi baik di sekolah maupun di masyarakat dimana sekolah itu
berada (Van Acker, 1996)
Ada kasus criminal, diantara sekolah-sekolah
SMA, secara signifikan terjadi kemunduran dalam proporsi pemuda yang terlihat
dalam perkelahian phisik, dari 42% (1991) menjadi 35,7% (1999) laporan dari
Centers for Disease Control and Prevention/CDCP, 2000). Meskipun kemunduran itu
menunjukkan tanda positif, tetapi tidak benar untuk pemuda pada semua umur,
gender, pendapatan keluarga atau struktur
keluarga (Boggess, dkk, 2000). Kenyataannya, bahwa lebih dari 1/3 siswa
masih ada keterlibatannya dengan perkelahian,paling tidak 1x selama 12 bulan
terakhir dan 9,3% dari pemuda itu membawa senjata ke sekolah (Kodjo, dkk.
2003), hal ini mengindikasikan, bahwa masalah itu tetap ada dan patut
disayangkan, bahwa kekerasan itu berlaku untuk semua umur, etnik dan kelompok sosial
ekonomi, yang berpengaruh pada kekerasan dengan kelompok yang tidak proposional
(Gangs
Tidak ada komentar:
Posting Komentar