Jumat, 11 Oktober 2013

Apa dan bagaimana Teori CBT dan Gestalt dalam Konseling ?



1.. Terapi Tingkah laku Kognitif
Terapi tingkah laku kognitif (Cognitive Behavioral Therapy atau CBT) bukanlah pendekatan tunggal dalam terapi. Beberapa tokoh seperti halnya Wolpe (1958), Ellis (1962), Meicherbaum (1977), Bect, et al. (1979) dan Skinner (1979), mengembangkan model-model yang beragam meski ada beberapa kesamaan di antara mereka. Terapi masalah terbatas pada hal yang berhubungan dengan keberfungsian atau pemberdayaan klien Qtersonal empowerment) pada saat sekarang; praktis dan tujuan tercapai selama konseling berlangsung, seperti memberikan tugas tertentu (task force), kemampuan mengulang praktik yang esensial, dan klien belajar untuk memonitor dan menilai perilaku (Marziker, 1980). Dalam pendekatan kognitif, munculnya perilaku maladaptive menggambarkan tentang hasil pembelajaran melalui proses kesadaran yang timbul dari pengalaman hidup sebelumnya, konflik intra-fisik dalam kesadaran diri atau katarsis emosional, seperti dipostulatkan berturut-turut dalam paham psikodinamik dan humanistik.
Instrumen persesuaian antara pendekatan kognitif dan tingkah laku adalah teori sosial-kognitif atau sering dikenal dengan istilah teori belajar sosial (Bandura, 1977). Teori belajar social adalah suatu pendekatan ke arah pemahaman kognisi manusia, tindakan atau perilaku, motivasi, dan emosi yang berasumsi bahwa manusia merupakan mahluk aktif atau mahluk pembentuk aktivitas bukannya mahluk pasif yang reaktif dan bergantung kepada lingkungan (Bandura,.l986, 1997; Barone, Maddux & Snyder, 1997 dalam Maddux, 2000). Teori belajar sosial mempunyai empat premis dasar. Jika disingkat dan disederhanakan adarah sebagai berikut.
(1)  Manusia dibekali dengan kekuatan kognitif atau kemampuan simbolisasi (symbolizing) yang memungkinkan untuk menginternalisasi model pengalamannya, mengembangkan tindakan atau perilaku inovatif, menguji hipotetis tindakan atau perilaku untuk memprediksikan hasilnya, dan berkomunikasi dengan orang lain tentang ide-ide serta pengalamannya yang kompleks. Manusia juga dapat mengobservasi diri (self-bservation), menganalisis dan mengevaluasi tindakan atau perilaku, pikiran, dan emosinya. Penyusunan kegiatan refleksi diri (self-reflective) ini merupakan langkah untuk mengendalikan dirinya (self-regulation).
(2)  Peristiwa-peristiwa yang terjadi di lingkungan, fakfor-faktor internal pribadi seseorang (kognisi, emosi, dan peristiwa biologis), dan perilaku semuanya berpengaruh secara timbale-balik. Manusia meresponsecara kognitif secara efektif dan berperilaku atas berbagai peristiwa yang terjadi di lingkungannya. Melalui kognisinya, manusia berlatih untuk mengendalikan semua perilakunya, kemudian pengaruh tersebut tidak hanya berasal dari kognisinya saja, melainkan faktor intemal lainnya juga, seperti afektif dan kondisi atau keadaan biologisnya.
(3)  Diri (self) dan kepribadian (Personality) keduanya menggambarkan kelekatan sosial (social embedded) yang berisikan persepsi (akurat atau tidak) tentang diri sendiri dan contoh-contoh yang lain dari kognisi sosial, emosi, dan tindakan atau perilaku seperti diperlihatkan dalam satu contoh model pada satu situasi. Karena mereka memiliki kelekatan sosial (social embedded), diri dan kepribadian keduanya bukan hanya sekedar mengantarkan kepada interaksi dengan yang lainnya, melainkan juga berkreasi atau aktif dalam proses interaksi, serta mengalami perubahan sepanjang proses interaksinya.
(4)  Manusia berkemampuan untuk mengendalikan diri (selfregulation). Ia mempunyai pilihan dalam mencapai tujuan dan mampu mengendalikan perilaku dalam rangka menyesuaikan atau mencapai tujuannya. la mempunyai pusat pengendalian diri, yaitu suatu kemampuan untuk mengantisipasi atau mengembangkan harapan -memanfaatkan pengetahuan dan pengalaman masa lalunya untuk membentuk keyakinan tentang rencana-rencana atau berbagai peristiwa masa depannya dan keadaan atau kondisi serta keyakinannya tentang kemampuan dan perilakunya.
Bandura mengargumentasikan bahwa individu adalah factor penting dalam lingkungan. Individu berinteraksi dengan lingkungan. Individu harus belajar bahwa satu peristiwa dapat menyebabkan peristiwa yang lain; mereka tidak terpisah dari satu dengan yang lainnya dari berbagai hal dan orang-orang yang ada di sekitarnya sehingga tindakannya tersebut dapat mempengaruhi lingkungan secara timbal balik (prinsip triadic reciprocal determinism).
Terapi tingkah laku tradisional menyatakan bahwa tingkah laku manusia ditentukan oleh unsur lingkungan. Di dalam lingkungan kerja ini artinya karyawan suka bekerja keras jika reward-nya besar. Peranan karyawan sebagai orang yang sanggup untuk menerangkan dan menentukan dunianya sendiri dipandang berlebihan. Pengganti pembelajaran semata-mata suatu fungsi dari reinforcement. Teori sosial-kognitif menyatakan bahwa tingkah laku manusia dapat juga diperoleh dengan melihat penampilan orang lain dari tugas atau aktivitasnya (vicarious learning) dan dengan proses penilaian diri.
Ellis (1962) dan Beck (lg7g), mempercayai cara individu berpikir itu membentuk dan mengubah perasaan dan tingkah laku.
Kekacauan timbul karena cara pikir maladaptive. Dalam teori Beck, pemikiran ini didasarkan pada berbagai asumsi, bahwa individu mempertahankan dirinya untuk berhubungan dengan lingkungan. Asumsi ini sering tersembunyi dari kesadaran individu tapi mereka bertindak atas pemikiran mereka yang benar. Beck telah mengidentifikasi tentang ketidak-sesuaian (maladaptive) "pemikiran otomatis", sebagai berikut:
1)   Arbitrary inference (kesimpulan subjektif), suatu gambaran tentang kesimpulan sesuatu tanpa memikirkan keterangan lain, seperti: direktur meminta saya merangkum hasil rapat. Hal ini berarti ia tidak suka terhadap saya.
2)   Selective abstraction (berpikir selektif), didasarkan atas kesimpulan terhadap peristiwa yang dapat dilihat dalam suatu konteks, seperti: direktur membatalkan rapat agar tidak bertemu dengan saya.
3)   Over-generalization (generalisasi yang berlebihan), membuat aturan umum tentang diri sendiri berdasarkan pengalaman yang terbatas, seperti: saya tidak mendapat kesempatan promosi, karena itu saya tidak akan pemah dipromosikan.
4)   Minimization (meremehkan), merendahkan kemampuan atau prestasi seseorang atau orang lain, seperti: saya mendapat karyawanan ini karena saya orang terbaik di antara para kandidat.
5)   Personalization (personalisasi), menghubungkan kesalahan sendiri dengan perilaku orang lain, seperti: saya tidak bekerja dengan baik karena suasana hati direktur pada hari ini jelek.
6)   Dichotomous reasoning (pertimbangan atau alasan dikotomis), mengkategorikan perilaku kepada hal-hal yang sifatnya ekstrem (positif sekali atau negatif sekali), seperti: jika saya tidak menyelesaikan karyawanan ini tepat waktu, maka berarti bahwa saya tidak benar dalam karyawanan ini.
Pengenalan dan pengubahan jenis pemikiran maladaptive yang diuraikan di atas merupakan bagian kunci dari CBT.
Tujuan pendekatan ini adalah membantu klien untuk dapat berpikir rasional. Untuk mencapai tujuan tersebut, menurut Corey (1988) mengungkapkan bahwa konselor bertugas spesifik, yaitu: mengarahkan klien terhadap masalah yang dihadapinya berkaitan dengan keyakinan-keyakinan yang bersifat irasional; membawa klien ke tahap kesadaran (insight) tertentu dengan cara menunjukkan gangguan-gangguan emosional yang tetap aktif  terus-menerus berpikir tidak logis dan dengan mengulang-ulang kalimat yang mengarahkan diri, dan berperilaku seperti pada masa kanak-kanak (regressive) ; berusaha agar klien memperbaiki pikiran-pikirannya dan meninggalkan gagasan irasionalnya; dan menantang klien untuk mengembangkan filsafat hidup yang lebih rasional sehingga ia bisa menghindari kemungkinan menjadi korban keyakinannya yang irasional.
Teknik-teknik kognitif yang digunakan adalah:
1)   Home Work Assignment.Dalam teknik ini, klien diberikan tugasrumah untuk melatih, membiasakan diri s€rta menginternalisasikan sistem nilai tertentu yang menuntun pola perilaku yang diharapkan.
2)   Teknik Assertive. Teknik ini digunakan untuk melatih keberanian diri klien dalam mengekspresikan perilaku-perilaku tertentu yang diharapkan, melalui: role playing, rehearsal dan social modeling.

2.  Teori Gestalt
Kata 'Gestalt' berasal dari sekolah Gestalt dari Psikologi Eksperimental yang mempelajari cara memperoleh dan membuat sense dari serangkaian informasi mengenai dunia sekitar kita. Gestalt merujuk kepada suatu proses mengintegrasikan informasi yang disampaikan oleh sense ke dalam suatu pengalaman yang sempurna yang terdiri beberapa atas bagian (Clark dan Fraser, 1987). Pengalaman yang sempurna ini menunjuk kepada gestalt. Asumsi teori Gestalt, semua manusia memiliki dorongan untuk menyempurnakan gestalt-nya.
Dalam teori Gestalt dikenal apa yang disebut ketidaksempurnaan gestalt atau unfinished business (urusan yang tak selesai). Urusan yang tak selesai ini mencakup perasaan-perasaan yang tidak terungkapkan seperti dendam, kemarahan, kebencian, sakit hati, kecemasan, kedudukan, rasa berdosa, rasa diabaikan, dan sebagainya.
Pola perubahan yang dikenal sebagai pembentukan dan perusakan dari Gestalt dan dapat disamakan dengan rangkaian dimana orang menjadi sadar akan kebutuhannya, bersiap-siap dan melaksanakan suatu bagian tindakan yang menyenangkan sebelum menarik diri dan beristirahat/diam, sebelum selanjutnya muncul kebutuhan. Tahapan dari rangkaian tersebut ialah: (1) menghindar (withdrawat); (2) sensasi (sensation); (3) kesadaran (owareness); (4) mobilisasi atau pengerahan (mobilization); (5) tindakan (action); (6) hubungan penuh (full contakl); dan (7) kepuasan (satisfaction).
Siklus ini tak pernah berakhir dari kesadaran dan pengalaman yang sedang berlangsung. Gestalt akan menjadi sempurna sewaktu-waktu tapi bisa memakan waktu seminggu, sebulan atau setahun, dan seterusnya.
Kesadaran menjadi aspek utama dalam teori Gestalt, di mana hal ini merupakan kemampuan untuk menggunakan sense sendiri (penglihatan, pendengaran, sentuhan, perasaan dan penciuman) dalam suatu alert (kesiagan) dan attentive (sikap) penuh perhatian dalam menampilkan moment untuk menjadi sadar dari peristiwa dalam diri sendiri dan lingkungan sekitar (Nevis,l987). Dengan memelihara selase sendiri maka seseorang menjadi sadar akan siapa, apa, dan apa kebutuhannya. Ia dapat membuat pilihan yang lebih untuk diri sendiri dan lingkungan tempat tinggalnya. Hal ini juga berarti, bahwa semua informasi yang dibutuhkan mengenai diri sendiri akan disimpan dalam tubuh, bukan semata-mata dalam pikiran. Teori Gestalt seringkali dihubungkan dengan katarsis emosional. Klien perlu memilih suatu cara dalam pemecahan situasi dengan melibatkan unsur emosinya agar dapat menyempurnakan usahanya yang belum selesai.
Karena seorang karyawan bekerja atas dasar prinsip kesadaran, maka terapi Gestalt berfokus pada apa dan bagaimananya tingkah laku dan pengalaman seseorang dalam konteks "di sini dan sekarang" (here and now) dengan mengintegrasikan bagian-bagian kepribadian yang terpecah dan tak diketahui (Corey, 1988).
Inti dari teori Gestalt adalah membantu klien bertindak secara sadar atas ketergantungan yang berlebihan pada dukungan (support) lingkungan ke arah support diri, dan pada setiap saat konselor memonitor derajat support yang tersedia untuk menginformasikannya klien. Klien membutuhkan supporl untuk tetap sehat di lingkungannya (Higgins,l996).
Proses terapi Gestalt (M. Surya, 1994) secara garis besar dapat dideskripsikan sebagai berikut.
1)   Membentuk pola pertemuan terapis agar tercipta suatu situasi yang memungkinkan perubahan-perubahan ke arah yang diharapkan oleh klien;
2)   Melaksanakan pengawasan (kontrol), yaitu konselor berusaha meyakinkan atau "memaksa" klien untuk mengikuti prosedur yang telah ditetapkan sesuai dengan kondisi klien. Meliputi dua hal yakni: (a) menimbulkan motivasi pada klien, dan (b) menciptakan rapport.
3)   Klien didorong untuk mengatakan perasaan-perasaannya pada pertemuan-pertemuan terapi saat ini, bukan menceriterakan masa lalu atau harapan rnasa mendatang.
4)   Setelah klien memperoleh pemahaman dan penyadaran tentang dirinya, tindakannya, perasaannya, maka terapi sampai pada fase akhir.
Adapun teknik yang biasa digunakan dalam konseling Gestalt (Shertzer & Stones dalam Moh. Surya, 1994) antara lain:
1)   Enhancing awareness. Klien dibantu untuk secara sadar berada pada pengalamannya sekarang.
2)   Personality pronouns, yaitu klien diminta untuk mempribadikan pikirannya untuk meningkatkan kesadaran pribadinya.
3)   Changing question to statement, yaitu mendorong klien untuk menggunakan pemyataan-pernyataan dari pada pernyataan yang mendorong untuk mengekspresikan dirinya dan bertanggung jawab bagi komunikasinya.
4)   Assuming responsibility, yaitu klien diminta untuk mengalihkan penggunaan kata "won't" untuk "can't" atau 'tidak ingin" untuk "tidak dapat".
5)   Asking "how" and "what", atau bertanya "bagaimana" dan "apa".
6)   Sharing hunches, yaitu mendorong klien untuk mengeks-plorasi diri dengan menanamkan tilikan seperti "saya lihat" atau 'saya dapat bayangkan".
7)   Bringing the past into the now, yaitu membantu klien agar mengalami pengalaman-pengalaman masa lalu dalam situasi sekarang.
8)   Expressing resentment and appreciations, yaitu membantu klien untuk mengidentifikasi dan menyatakan keadaan dan penghargaan diri.
9)   Using body expression, yaitu mengamati ekspresi badan klien dan memusatkan perhatian untuk membantu kesadaran klien.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar