Minggu, 17 November 2013

Upaya menanggulangi Kekerasan di Sekolah


Ada beberapa model untuk menanggulangi kekerasan di sekolah. (1) membangun hubungan, (Smith & Sandhu. 2004) (2) berbasis ekologi (Andrea, 2004) (3) resolusi konflik (Kottler, 1994); (Winslde & Monk, 2000) (4) ITOP (Invitational Theory of Practice) (Stanley, 2004) (5) Mengurangi perilaku penggertak (Newman, 2004)
1.     Membangun Hubungan
Dalam proses membangun hubungan perlu diperhatikan adalah rasa keterhubungan antara siswa dengan unsur-unsur lingkungan, sperti teman sebaya, keluarga (orang tua), sekolah dan masyarakat (Sandhu, 2004).
Dalam membangun hubungan dengan keluarga (Orang tua) ada dua hal :
1.     Intervensi dasar orang tua dan keluarga. Intervensi ini merupakan pendekatan untuk menolong orang tua mengembangkan komunikasi yang lebih baik dantrampil untuk menyelesaikan konflik dan mendidik orang tua mengetahui faktor-faktor yang memberi kontribusi terhadap tingkah laku kekerasan.
2.     Orang Tua sebagai pelaku emosi (Gottman, dkk, 1996)                               Bermanfaat untuk melatih orang tua sebagai pelatih emosi terhadap anak.
-       Membangun hubungan dengan teman sebaya
Persahabatan merupakan hal penting dalam usaha mendukung anak-anak menjadi orang dewasa. Siswa-siswa yang suka berteman lebih bahagia di sekolah, memperoleh penyesuaian psikis dan emosional sehingga mengurangi tingkah laku agresif dan kekerasan. Upaya-upaya pendidikan keseharan secara komprehensif mulai TK sampai SMA, meliputi :
a.      Penekanan pada pribadi dan pelatihan, keterampilan sosial.
b.     Memajukan nilai-nilai sosial positif dan sikap-sikap yang sehat.
c.      Peningkatan kejujuran, informasi yang relevan tentang isu-isu keshatan termasuk kekerasan.

Menurut Goleman (1995), bahwa emosi seseorang sama atau lebih penting daripada intelegensi dan menjadi predictor dari kesuksesan hidup. Selanjutnya Goleman (1995) & Salovery (1990) mengindentifikasi bahwa ada 5 domain emosi yang penting dan berfungsi untuk mencapai sukses : (1) Self-awareness (kesadaran diri sendiri), (2) self-awareness untuk orang lain, (3) mengelola emosi, (4) memotivasi diri sendiri, (5) menegoisasi untuk memecahkan konflik. Bernegoisasi untuk memecahkan konflik melalui beberapa keterampilan dasar interpesrsonal seperti kerjasama, memecahkan masalah, empati.
Peran konselor ada 3 hal, yaitu : (1) membangun iklim yang respek di dalam sekolah. (2) bekerja sama dengan guru-guru dan siswa dalam mengembangkan keterampilan emosi. (3) sebagai konsultan keshatan mental, berkomunikasi secara efektif dengan orang tua, menjadimodel dalam keterampilan personal, memecahkan konflik secara efektif dan memelihara rasa keterhubungan dengan siswa.

2.     Pencagahan kekerasan berbasis ekologi.
Pencegahan kekerasan berbasis ekologi ialah program berdasar pada konteks masyarakat sekolah. Kesadaran ini untuk memperbaiki kembali lingkungan sekitar dengan kondisi positif dan lebih demokratis. Lingkungan local sekolah merupakan representasi ideal untuk mencegah tindak kekerasan yang lebih luas. Dalam sting ekologi, perlu menggali kearifan budaya local yang semakin pudar.
Menurut Walker dan Gresham (1997) yang telah diadaptasi, ada 7 komponen untuk mencegah munculnya kekerasan yang perlu dilakukan,          (1) membangun masyarakat sekolah yang positif. (2) mengartikulasikan harapan dan kinerja semua masyarakat sekolah secara tinggi. (3) Pendidikan yang berorientasi pada nilai dan praktek. (4) Mengutamakan proses layanan siswa yang prima. (5) Menguatkan partispasi siswa dan orang tua serta guru terlibat untuk mengambil kebijakan. (6) Mengembangkan keterampilan sosial dan (7) Memberikan layanan resolusi konflik. Ketujuh komponen tersebut dilakukan dengan metode yang efektif berikut, (1) Mengindentifikasi perilaku agresif yang terjadi di lingkungan sekitar. (2) Melakukan kerja sama dengan kelompok kecil di tengah masyarakat untuk memberikan penyadaran dan melatihkan keberanian untuk menerima realitas kehidupan.
Daniel (1999) layanan pencegahan kekerasan bisa dilakukan oleh pendidik, konselor, guru dan tokok agama, dengan cara untuk membantu individu (1) Mengindentifikasi bagaimana munculnya kekerasan yang dialami oleh orang tersebut. (2) Membangun kesadaran baru. (3) Mengajarkan keterampilan baru untuk usaha keluar dari problem kekerasan (4) Meningkatkan pengetahuannya dengan sumber-sumber lain. Model pencegahan kekerasan berbasis ekologi akan efektif manakala ada support dari pengambil kebijakan (stake holder).

3.     Model Penyelesaian Konflik.
Tindak kekerasan sebagai sebuah konflik dapat ditangani melalui penggunaan strategi “resolusi konflik” sebagai proses komunikasi antara dua atau lebih kelompok yang sedang menyelesaikan sebuah pertikaian melalui bantuan mediator. Seorang mediator berfungsi untuk (a) Mencari penyelesaian konflik dan memulihkan relasi sosial antar kelompok.; (b) Membantu orang menahan diri dari menyalahkan orang lain dan menggantinya dengan berfokus pada pemahaman tentang timbulnya pertikaian dan mendapat dasar umum untuk consensus. (c) Membantu orang mengembangkan sebuah pemahaman yang lebih baij terhadap posisi orang lain; (d) Mengembangkan sebuah hubungan yang didasarkan pada saling menghargai; dan (e) Menodorong kelompok-kelompok merefleksikan pandangan sendiri dan orang lain untuk menyelesaikan pertikaian dengan cara mereka sendiri.
Jalur penyelesaian yang dapat digunakan adalah (a) mediator sebaya, adalah sebuah program resolusi konflik yang menggunakan sejumlah siswa yang terlatih di antara mereka untuk memediasi pertikaian-pertiakain sekolah, dan diharapkan dapat menyebarkan pengalamannya kepada orang lain; (b) Proses kurikulum, adalah pendekatan yang menggunakan waktu kelas untuk mengajarkan resolusi konflik dan keterampilan-keterampilan lainnya kepada siswa (Bodin, et al. 1994 ; dan Gilhooly & Scheuch, 2000).
Kottler (2000), fungsi konselor dapat berjalan dengan baik bila memilik (a) Serangkaian strategi untuk bekerja dengan populasi yang berbeda budaya;   (b) Membantu siswa untuk mersepon secara lebih beradab. (misalnya berdamai); (c) Memperjelas isu-isu yang terlibat; dan (d) Menemukan sumber-sumber yang bermanfaat bagi kelompok.
Penanganan tindak kekerasan di sekolah bagi konselor tentu saja  menuntut tehnik-tehnik yang akurat. Oleh karena siswa pada umumnya di sekolah-sekolah bersifat multicultural, maka tehnik-tehnik lintas budaya patut dipertimbangkan virtualitasnya. Untuk keperluan itu perlu dicermati nilai-nilai budaya yang terdapat di dalam populasi siswa bersangkutan dan dipilih satu atau lebih yang dianggap efektif. Sebagai contoh, budaya “Semai Becharaa” pada masyarakat semau di Afrika yang memandang bahwa perselisihan di antara individu menjadi kerisauan atau tanggung jawab bagi setiap anggota suku (Robarcheck, 1997), atau “Sintuvu Maroso” bagi masyarakat Tana Poso untuk budaya lokas di Indonesia. Nilai yanga terkandung di dalam “Semai Buchara” mengharuskan setiap individu dalam suku diwajibkan membawa setiap konflik kepada kepala suku (konselor sebagai kepala suku di sekolah) untuk segera melakukan resolusi atas konflik tersebut. Demikian halnya di dalam “Sintuvu Maroso” perasn to tua (kepala suku) juga dapatdiemban oleh konselor di sekolah.

4.     Menggunakan Teori ITOP (Individu Theori of Practice) TStanley, 2004)
Teori ITOP digunakan dalam pelatihan untuk menciptakan sekolah yang aman dan suskses. Program ITOP memperkuat program yang sudah ada untuk mempetahankan sekolah yang aman dan kondusif dalam mencapai keberhasilan akademik. Penemuan dari beberapa penelitian (Hazler & Carney, 2000), menyatakan bahwa adanya kebutuhan yang mutlak untuk menciptakan keamanan dalam sekolah, untuk para siswa dan para pegawai di sekolah. Untuk meningkatkan keamanan sekolah, para pendidik percaya pada pelaksanaan  metode pengamanan khusus, meliputi detector logam, satpam, menutup jaringan televise, mengunci pintu dan jendela (kecuali pada satu atau dua gerbang), dan memeriksa loker (Nims, 2000). Meskipun metode ini cukup efektif, tetapi metode pengamanan tradisional juga memberikan dampak negative pada sekolah. Seperti keterbatasan dana sekolah, berkurangnya waktu dalam kelas, dan berkurangnya moral pada guru dan murid. (Glasser, 2000).
ITOP (Invitational Theory of Practice) adalah teori  untuk praktek komunikasi, menjaga pesan-pesan yang dikendekai secara ajeg untuk mengetahui, mengindentifikasi, dan merubah potensi-potensi destrutif. (Stenley, 2004). Ada empat elemen penting ITOP, yaitu : (1) Respek, adalah upaya konselor untuk menghargai siswa, menginvestasi rasa aman bahwa semua orang harus saling menghargai, apabila hal ini bisa tercipta di sekolah, maka kekerasan akan berkurang dan kebersamaan siswa bertambah. (2) Kepercayaan. Rasa percaya siswa pada guru akan diperoleh apabila guru bisa bekerja sama dengan siswa untuk menghargai perasaan baik dan sukses di sekolah. (3) Optimis. Potensi untuk menghargai perasaan baik dan sukses dalam hidup ini merupakan modal masa depan, bisa membantu kita dalam menyelesaikan tugas-tugas kehidupan, membuat kita lebih baik di sekolah dan sukses dalam kehidupan. (4) Tujuan. Tujuan merupakan faktor paling penting dalam terapi keberhasilan dan hidup yang sehat ini.
ITOP menggunakan pendekatan holistic yang melibatkan semua orang dan semua hal dalam lingkungan sekolah. Faktor-faktor penting yang perlu diperhatikan dalam pelaksanaan ITOP adalah lima Ps (People, place, policies, programs, dan processes).
§  People
Dalam usaha untuk menjaga keamanan dan kesuksesan semua orang di sekolah, orang merupakan faktor yang paling utama. Menurut Barth (1990), faktor utama dalam keberhasilan siswa adalah kualitas hubungan antara para anggota sekolah. Ketika semua orang berpartisipasi dalam mengembangkan keamanan sekolah dan kesuksesan akademik, maka mereka semua akan memiliki perasaan kebersamaan. Tujuan sekolah yang paling penting adalah dimana semua orang dalam sekolah tersebut merasa diakui.
§  Places
Tempat awal untuk membuat sekolah lebih menarik adalah lingkungan sekolah. Banyak siswa yang mengeluhkan ruangan istirahat, cat tembok yang terkelupas, kantor yang berantakan, furniture patah, atau jendela yang kotor. Focus ITOP adalah tempat menjadi hal utama untuk lingkungan fisik.
§  Policies
Policies (kebijakan) mengacu pada prosedur, kode-kode, aturan dan pengaturan, baik tertulis maupun tidak, yang berpengaruh besar di sekolah. Sumbangan kebijakan komunikasi sangat kuat pada setiap pendangan, kemampuan, dan pemahaman diri (misalnya kepala sekolah yang bicara pengaruhnya sangat kuat), sehingga kebijakan dapat dijadikan promosi untuk disiplin, jadwal, aspek-aspek yang berkaitan pada kehidupan sekolah yang bisa dievaluasi, dihargai, dan tidak kaku.
§  Programs
Program ITOP berpotensi untuk bisa memfungsikan masyarakat sekolah pada level yang tinggi dan sangat memperhatikan demokrasi. Contohnya, murid-murid diajarkan untuk mengelola perasaan marah dalam kegiatan kelompok (misalnya, bagaimana menghadapi perilaku penggertak, bagaimana menghadapi kesulitan). Program-program ini dilakukan secara tutorial dan bekerja sama dengan aktivitas sekolah. Konselor bisa bekerja sama secar individual dan kelompok kecil dengan siswa yang peduli dengan kesuksesan sekolah, dan mengelola marah.
§  Processes
Proses merupakan cara yang ditempuh untuk memfungsikan keempat hal di atas (People, place, policies, programs). Proses dilakukan secara berkualitas, semangat kooperatif, demokratis, etik, memperhatikan etika dan norma. Memperluas jaringan kerja antara staaf sekolah, guru, murid, dan orang tua.
Langkah pendekatan yang bisa dilakukan dengan cara 1) identifikasi dan mengukur permasalahan. 2) Membentuk partnership, 3) Membuat tujuan pengukuran dan objek, 4) Pengembangan program dan strategi untuk mencapai tujuan, 5) implemestasi rencana, 6) mengevaluasi rencana.


5.     Model mengurangi perilaku gertakan (bullying)
Bullying merupakan perilaku mengancam terhadap sesama siswa. Ada dua bentuk : direct-bullying dan indirect-bullying. direct-bullying berbentuk fisik yaitu : membunuh, menendang, memukul, dan mencekik, bentuk verbal (memanggil nama jelek, mengejek, rasa dendam, ancaman, rumor yang menyesatkan). Sedangkan indirect-bullying : menggunakan bahasa tubuh, menggunakan wajah dan mengisolasi geng kelompok.
Para penggertak memiliki psikologi yang meyakinkan. Bentuk-bentuk penggertak secara umum tergantung pembiaran toleransi sekolah, sikap guru, dan faktor lingkungan yang lain. Karakteristik perilaku siswa dan kelompok penggertak ialah : 1) demografi, 2) tingkah laku, 3) dinamika kelompok sebaya, 4) pengaruh struktur sekolah. Untuk menghentikan bullying, konselor dapat melakukan pendekatan dengan pengancam dan penggertak dan memodifikasi iklim dan struktur sekolah.                                        

Tidak ada komentar:

Posting Komentar