Selasa, 05 November 2013

SEMANGAT RELIGIUSITAS DALAM BIMBINGAN DAN KONSELING


SEMANGAT RELIGIUSITAS DALAM BIMBINGAN DAN KONSELING
Terkadang orang mengaitkan SQ dengan religiusitas, khususnya dengan wacana tasawuf, hal ini sangat bisa dipahami karena terdapat alasan yang cukup kuat. Misalnya pemyataan Danah Zohar sebagai berikut: SQ takes us to the heart of things, to the unity behind dffirence, to the potential beyond any actual expression. Berikutnya ditegaskan, ...We can use our SQ to wrestle with problems of good and evil, problem of life and death, the deepest origins of human suffering and often despair.
Sekalipun SQ dan religiusitas memiliki perbedaan kategori, tetapi keduanya sangat berdekatan, karena keduanya mengambil fokus pada diri manusia. Secara teologis, agama memang berasal dari Tuhan. Namun, religiusitas dan spiritualitas adalah wilayah manusia. Bedanya, dalam tradisi tasawuf religiusitas diyakini adanya kehadiran dan keterlibatan Tuhan dalam diri manusia; sedangkan spiritualitas dalam konteks SQ tidak mesti menyertakan keyakinan tentang kehadiran Tuhan. Namun, baik religiusitas ataupun spiritualitas memiliki kesamaan dalam hal penghayatan terhadap nilai-nilai dan realitas non.fisik yang bersifat holistik, yang membangkitkan sense of divine mission dalam menjalani hidup (Hidayat, 2002).
Agama yang dalam bahasa inggris berarti religion, umumnya dipakai menjadi bahasa tulis/lisan menjadi religi, berakar kata religare yang berarti mengikat. Ahli psikologi Wulff (Nasori & Mucharam,2002) pernah memberikan penjelasan tentang istilah ini, yaitu sesuatu yang dirasakan sangat dalam, yang bersentuhan dengan keinginan seseorang, membutuhkan ketaatan dan memberikan imbalan atau mengikat seseorang dalam suatu masyarakat.
Ahli psikologi agama Glock & Strak secara lebih komprehensif menandaskan bahwa religi adalah sistem simbol, system keyakinan, sistem nilai, dan sistem perilaku yang terlembagakan, yang semuanya berpusat pada persoalan-persoalan yang dihayati sebagai sesuatu yang paling maknawi (ultimate meaning).
Sementara itu, Michel Mayer berpendapat bahwa religi adalah seperangkat aturan dan kepercayaan yang pasti untuk membimbing individu dalam tindakannya terhadap Tuhan, orang lain dan dirinya sendiri.
Berangkat dari pengertian religi tersebut muncul pengertian religiusitas, yang pada hakikatnya berangkat dari kata dasar religi (religion) atau agama tadi. Religiusitas adalah seberapa jauh pengetahuan, seberapa kokoh keyakinan, seberapa pelaksanaan ibadah dan kaidah, dan seberapa dalam penghayatan atas agama yang dianutnya (Nasori & Mucharam,2002). Bagi seorang Muslim, religiusitas dapat diketahui dari seberapa dalam pengetahuan, keyakinan, pelaksanaan, dan penghayatan atas agama Islam.
Setidaknya terdapat lima dimensi keberagamaan menurut Glock & Strak (Nasori & Mucharam, 2002) yaitu sebagai berikut: (l) dimensi keyakinan (the ideological dimension, religious belief), yaitu kepercayaan yang diyakini individu terhadap agama yang menjadi anutannya; (2) dimensi peribadatan atau praktik agama (the ritualistic dimension, religious practice), yaitu dimensi yang mengetengahkan tentang ritual dan aktivitas yang dilakukan sebagai pengokoh keyakinan dalam keagamaan; (3) penghayatan (ineexperiential dimension, religious feeling), yaitu  pemahaman, pemikiran yang mendalam (deep thinking) terkait dengan anutan yang menjadi keyakinan yang biasanya ditampakkan dalam perilaku kehidupan sehari-hari; (4) pengalaman (the consequential dimension, religious efect), yaitu aktualisasi kurminasi dari keseluruhan pemahaman yang mendalam terkait dengan religi tadi yang diejewantahkan dalam aktivitas nyata, baik interaksi dingan manusia, lingkungan dan juga dengan Rabb-nya; dan (5) pengetahuan\agama (the intellectual dimension, religious knowledge), dimensi ini lebih menonjolkan aspek keberwawasan individu terhadap agamayang diyakininya.
Berangkat dari paparan konseptual tentang religiusitas dalam dimensi kemanusiaan, maka bagaimana bentuk spirit yang seyogianya berada dalam bidang bimbingan dan konseling? Sebagai suatu bidang keilmuan yang menekankan pada aspek interaksi yang sifatnya membantu individu (building relationshipness), bimbingan dan konseling tampak menyoroti aspek-aspek yang bersifat kemanusiaan yang terdapat dalam diri individu yang antara lain mencakup aspek intelektual, sosial, psikologis dan spiritual.
Dimensi religiusitas dalam kajian bimbingan dan konseling setidaknya membantu mengembangkan fitrah minusia, khususnya fitrah rohani dan nafs. Djawad Dahlan (2003), memaparkan bahwa fitrah rohani merupakan esensi pribadi individu dan berada di alam imateri dan alam materi. la lebih abadi dari fitrah jasmani, suci dan memperjuangkan dimensi-dimensi spiritual dalam diri individu. Ia mampu bereksistensi dan dapat menjadi tingkah laku aktual apabila berinteraksi secara harmonis dengan fitrah jasmani.
Lebih lanjut, ditegaskannya bahwa fitrah nafs merupakan paduan integral antara fitrah jasmani (biologis) dengan fitrah rohani (psikologis). Ia memiliki tiga komponen pokok, yaitu kalbu, akal, dan nafsu yang saling berinteraksi, dan terwujud dalam bentuk kepribadian
Dalam dinamikanya, fitrah nafs ini digerakkan oleh Sang Maha Pencipta, diwujudkan dalam bentuk hidayah (petunjuk) dan Sunnah (hukum Allah) yang mengatur nafs tadi supaya lestari dan berdaya fungsi.
Sunnah (hukum Allah) ini mengatur aspek fisik dan aspek psikis nafs. Diaturnya individu agar mampu memelihara, melindungi, dan melestarikan aspek fisiknya, seperti memelihara alat indera, sistem syaraf, sistem kelenjar, tulang dan daging. Kesemuanya itu diwujudkan dalam bentuk aturan makan, minum, tidur, olah raga, hubungan seksual dan sebagainya supaya mampu hidup sehat, stabil, dan berfungsi.
Aspek psikis nafs diatur supaya individu mampu hidup bahagia, menyenangkan, memberikan ketenangan dengan jalan memperluas ilmu, berpikir, tadabur, berdzikir, menghindar dari sifat tercela dan mempersiapkan diri agar mampu memiliki sifat-sifat mulia. Untuk merealisaiikannya dalam upaya menemukan jati diri, individu diberi hidayatuddiny (hidayah keimanan) di samping hidayah wijdany (instinct) hidayah hawas (indera) dan hidayah aqly (akal).
Fungsi lain dari dimensi religiusitas dalam bimbingan dan konseling adalah penanaman dimensi akidah, yaitu pemantapan keyakinan individu terhadap dimensi ketuhanan atau pengesaan Tuhan (tauhidullah) sebagai Yang Maha Esa, Pencipta yang Maha Mutlak, dan Transeden. Aspek lain adalah terkait dengan peribadatan, hal ini tampak dari tingkat kepatuhan individu dalam mengerjakan ritual ibadah sebagaimana yang diperintahkan oleh agamanya. Peribadatan ini berkaitan dengan frekuensi, intensitas dan pelaksanaan ibadah seseorang. Seorang Muslim yang beribadah dengan baik tentunya akan menggunakan jam-jam yang dimilikinya untuk beribadah kepada Allah, dengan shalat, membaca dzikir, menebarkan kasih sayang terhadap manusia dan lingkungan, juga memanfaatkan dengan efektif waktu yang telah diamanahkan Tuhan kepadanya.
Selain aspek ibadah, dimensi religiusitas berperanan dalam mengembangkan perilaku sosial individu dalam bentuk amai atau pengamalan. Jikalau seseorang selalu melakukan perilaku yang positif dan konstruktif kepada orang lain, dengan dimotivasi agama, maka itu adalah wujud keberagamaannya. pada aspek ini, amal berkaitan erat.. dengan kegiatan pemeluk agmna dalam merealisasikan ajaran-ajaran agama yang dianutnya dalam kehidupan sehari-hari yang berlandaskan pada etika dan spiritualitas agama yang dianutnya tersebut.
Dimensi religiusitas dalam bimbingan dan konseling juga mengantarkan kepada pemahaman iltsal, yaitu keberperasaan dan kedekatan individu terhadap monitoring Tuhan dalam kehidupan sehari-hari. Aspek ini seyogianya mengantarkan kepada pengalaman dan perasaan tentang kehadiran Tuhan dalam kehidupan, ketenangan hidtrp, takut melanggar larangan Tuhan, keyakinan menerima balasaq perasaan dekat dengan Tuhan, dan dorongan untuk melaksanakan perintah agama.
Aspek terakhir dari dimensi religiusitas dalam terminology bimbingan dan konseling merupakan refleksi dari pengetahuan dan pemahaman individu terhadap ajaran-ajaran agamanya. Individu yang beragama, paling tidak harus mengetahui hal-hal yang pokok mengenai dasar-dasar keyakinan, ritus-ritus, kitab suci dan tradisitradisi. Implikasinya adalah keberanian untuk membuat keputusan secara rasional dan objektif (ijtihad), sehingga tidak terkungkung oleh satu faham atau satu aliran dalam memberikan bantuan dan berhubungan dengan individu, baik dalam kegiatan konseling ataupun interaksi sehari-hari; baik dengan orang lain, lingkungan, maupun dengan dirinya sendiri.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar