SEMANGAT RELIGIUSITAS DALAM BIMBINGAN DAN KONSELING
Terkadang
orang mengaitkan SQ dengan religiusitas, khususnya dengan wacana tasawuf, hal
ini sangat bisa dipahami karena terdapat alasan yang cukup kuat. Misalnya
pemyataan Danah Zohar sebagai berikut: SQ
takes us to the heart of things, to the unity behind dffirence, to the
potential beyond any actual expression. Berikutnya ditegaskan, ...We can use our SQ to wrestle with problems
of good and evil, problem of life and death, the deepest origins of human
suffering and often despair.
Sekalipun SQ dan religiusitas memiliki perbedaan kategori, tetapi
keduanya sangat berdekatan, karena keduanya mengambil fokus pada diri manusia.
Secara teologis, agama memang berasal dari Tuhan. Namun, religiusitas dan
spiritualitas adalah wilayah manusia. Bedanya, dalam tradisi tasawuf
religiusitas diyakini adanya kehadiran dan keterlibatan Tuhan dalam diri
manusia; sedangkan spiritualitas dalam konteks SQ tidak mesti menyertakan keyakinan
tentang kehadiran Tuhan. Namun, baik religiusitas ataupun spiritualitas
memiliki kesamaan dalam hal penghayatan terhadap nilai-nilai dan realitas
non.fisik yang bersifat holistik, yang membangkitkan sense of divine mission
dalam menjalani hidup (Hidayat, 2002).
Agama yang dalam bahasa inggris berarti religion, umumnya dipakai menjadi bahasa tulis/lisan menjadi
religi, berakar kata religare yang berarti
mengikat. Ahli psikologi Wulff (Nasori & Mucharam,2002) pernah memberikan
penjelasan tentang istilah ini, yaitu sesuatu yang dirasakan sangat dalam, yang
bersentuhan dengan keinginan seseorang, membutuhkan ketaatan dan memberikan imbalan
atau mengikat seseorang dalam suatu masyarakat.
Ahli psikologi agama Glock & Strak secara lebih komprehensif menandaskan
bahwa religi adalah sistem simbol, system keyakinan, sistem nilai, dan sistem
perilaku yang terlembagakan, yang semuanya berpusat pada persoalan-persoalan
yang dihayati sebagai sesuatu yang paling maknawi (ultimate meaning).
Sementara itu, Michel Mayer berpendapat bahwa religi adalah seperangkat
aturan dan kepercayaan yang pasti untuk membimbing individu dalam tindakannya
terhadap Tuhan, orang lain dan dirinya sendiri.
Berangkat dari pengertian religi tersebut muncul pengertian religiusitas,
yang pada hakikatnya berangkat dari kata dasar religi (religion) atau agama tadi. Religiusitas adalah seberapa jauh pengetahuan,
seberapa kokoh keyakinan, seberapa pelaksanaan ibadah dan kaidah, dan seberapa
dalam penghayatan atas agama yang dianutnya (Nasori & Mucharam,2002). Bagi
seorang Muslim, religiusitas dapat diketahui dari seberapa dalam pengetahuan, keyakinan,
pelaksanaan, dan penghayatan atas agama Islam.
Setidaknya terdapat lima dimensi keberagamaan menurut Glock & Strak
(Nasori & Mucharam, 2002) yaitu sebagai berikut: (l) dimensi keyakinan (the ideological dimension, religious belief),
yaitu kepercayaan yang diyakini individu terhadap agama yang menjadi anutannya;
(2) dimensi peribadatan atau praktik agama (the
ritualistic dimension, religious practice), yaitu dimensi yang mengetengahkan
tentang ritual dan aktivitas yang dilakukan sebagai pengokoh keyakinan dalam
keagamaan; (3) penghayatan (ineexperiential
dimension, religious feeling), yaitu pemahaman, pemikiran yang mendalam (deep thinking) terkait dengan anutan yang
menjadi keyakinan yang biasanya ditampakkan dalam perilaku kehidupan
sehari-hari; (4) pengalaman (the
consequential dimension, religious efect), yaitu aktualisasi kurminasi dari
keseluruhan pemahaman yang mendalam terkait dengan religi tadi yang
diejewantahkan dalam aktivitas nyata, baik interaksi dingan manusia, lingkungan
dan juga dengan Rabb-nya; dan (5) pengetahuan\agama (the intellectual dimension, religious knowledge), dimensi ini lebih
menonjolkan aspek keberwawasan individu terhadap agamayang diyakininya.
Berangkat dari paparan konseptual tentang religiusitas dalam dimensi
kemanusiaan, maka bagaimana bentuk spirit yang seyogianya berada dalam bidang
bimbingan dan konseling? Sebagai suatu bidang keilmuan yang menekankan pada
aspek interaksi yang sifatnya membantu individu (building relationshipness),
bimbingan dan konseling tampak menyoroti aspek-aspek yang bersifat kemanusiaan
yang terdapat dalam diri individu yang antara lain mencakup aspek intelektual,
sosial, psikologis dan spiritual.
Dimensi religiusitas dalam kajian bimbingan dan konseling setidaknya
membantu mengembangkan fitrah minusia, khususnya fitrah rohani dan nafs. Djawad Dahlan (2003), memaparkan
bahwa fitrah rohani merupakan esensi pribadi individu dan berada di alam imateri
dan alam materi. la lebih abadi dari fitrah jasmani, suci dan memperjuangkan
dimensi-dimensi spiritual dalam diri individu. Ia mampu bereksistensi dan dapat
menjadi tingkah laku aktual apabila berinteraksi secara harmonis dengan fitrah
jasmani.
Lebih lanjut, ditegaskannya bahwa fitrah nafs merupakan paduan integral antara fitrah jasmani (biologis)
dengan fitrah rohani (psikologis). Ia memiliki tiga komponen pokok, yaitu
kalbu, akal, dan nafsu yang saling berinteraksi, dan terwujud dalam bentuk kepribadian
Dalam dinamikanya, fitrah nafs
ini digerakkan oleh Sang Maha Pencipta, diwujudkan dalam bentuk hidayah
(petunjuk) dan Sunnah (hukum Allah) yang mengatur nafs tadi supaya lestari dan berdaya
fungsi.
Sunnah (hukum Allah) ini mengatur aspek fisik dan aspek psikis nafs. Diaturnya individu agar mampu
memelihara, melindungi, dan melestarikan aspek fisiknya, seperti memelihara alat
indera, sistem syaraf, sistem kelenjar, tulang dan daging. Kesemuanya itu
diwujudkan dalam bentuk aturan makan, minum, tidur, olah raga, hubungan seksual
dan sebagainya supaya mampu hidup sehat, stabil, dan berfungsi.
Aspek psikis nafs diatur
supaya individu mampu hidup bahagia, menyenangkan, memberikan ketenangan dengan
jalan memperluas ilmu, berpikir, tadabur, berdzikir, menghindar dari sifat tercela
dan mempersiapkan diri agar mampu memiliki sifat-sifat mulia. Untuk
merealisaiikannya dalam upaya menemukan jati diri, individu diberi hidayatuddiny (hidayah keimanan) di
samping hidayah wijdany (instinct) hidayah
hawas (indera) dan hidayah aqly (akal).
Fungsi lain dari dimensi religiusitas dalam bimbingan dan konseling
adalah penanaman dimensi akidah, yaitu pemantapan keyakinan individu terhadap
dimensi ketuhanan atau pengesaan Tuhan (tauhidullah)
sebagai Yang Maha Esa, Pencipta yang Maha Mutlak, dan Transeden. Aspek lain
adalah terkait dengan peribadatan, hal ini tampak dari tingkat kepatuhan
individu dalam mengerjakan ritual ibadah sebagaimana yang diperintahkan oleh agamanya.
Peribadatan ini berkaitan dengan frekuensi, intensitas dan pelaksanaan ibadah
seseorang. Seorang Muslim yang beribadah dengan baik tentunya akan menggunakan
jam-jam yang dimilikinya untuk beribadah kepada Allah, dengan shalat, membaca
dzikir, menebarkan kasih sayang terhadap manusia dan lingkungan, juga memanfaatkan
dengan efektif waktu yang telah diamanahkan Tuhan kepadanya.
Selain aspek ibadah, dimensi religiusitas berperanan dalam mengembangkan
perilaku sosial individu dalam bentuk amai atau pengamalan. Jikalau seseorang
selalu melakukan perilaku yang positif dan konstruktif kepada orang lain,
dengan dimotivasi agama, maka itu adalah wujud keberagamaannya. pada aspek ini,
amal berkaitan erat.. dengan kegiatan pemeluk agmna dalam merealisasikan
ajaran-ajaran agama yang dianutnya dalam kehidupan sehari-hari yang
berlandaskan pada etika dan spiritualitas agama yang dianutnya tersebut.
Dimensi religiusitas dalam bimbingan dan konseling juga mengantarkan kepada
pemahaman iltsal, yaitu keberperasaan dan kedekatan individu terhadap
monitoring Tuhan dalam kehidupan sehari-hari. Aspek ini seyogianya mengantarkan
kepada pengalaman dan perasaan tentang kehadiran Tuhan dalam kehidupan, ketenangan
hidtrp, takut melanggar larangan Tuhan, keyakinan menerima balasaq perasaan
dekat dengan Tuhan, dan dorongan untuk melaksanakan perintah agama.
Aspek terakhir dari dimensi religiusitas dalam terminology bimbingan dan
konseling merupakan refleksi dari pengetahuan dan pemahaman individu terhadap
ajaran-ajaran agamanya. Individu yang beragama, paling tidak harus mengetahui
hal-hal yang pokok mengenai dasar-dasar keyakinan, ritus-ritus, kitab suci dan
tradisitradisi. Implikasinya adalah keberanian untuk membuat keputusan secara
rasional dan objektif (ijtihad),
sehingga tidak terkungkung oleh satu faham atau satu aliran dalam memberikan
bantuan dan berhubungan dengan individu, baik dalam kegiatan konseling ataupun
interaksi sehari-hari; baik dengan orang lain, lingkungan, maupun dengan
dirinya sendiri.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar