Minggu, 29 September 2013

Dimensi Religius dalam Bimbingan dan Konseling


          Relevansi dari kuatnya arus globalisasi sebagai bukti dari perkembangan zamanmenurut pendapat sebagian pakar merupakan proses met ghilungnya sekat-sekat pembatasan ruang dan waktu yang berdampak kipada semakin transparannya proses transformasi nilai-nilai dan terjadinya asimilasi budaya yang semakin cepat dan nyaris tanpa batas (the world without border) (Tilaar, 2000).
Kondisi demikian pada akhimya menjadikan individu dituntut untuk semakin kompetitif dan mampu bersaing dengan individu yang lainnya. Pada saat itu, individu yang lambat akan tertinggal dan kehilangan kesempatan untuk mendapatkan kebahagiaan hidup dengan segala kenikmatannya. Sebaliknya, kesuksesan hanya akan aimititi otett individu yang mampu bersaing dan memiliki kedewasaan dalam berpikir dan mengaktualisasikan diri dalam kehidupan sosial masyarakatnya.
Kehidupan sosial budaya suatu masyarakat pada hakikatnya adalah sistem terbuka yang selalu berinteraksi dengan sistem lain. Keterbukaan sistem sebagai dampak globalisasi mendorong terjadinya pertumbuhan, pergeseran, dan perubahan nilai dalam masyarakat, yang pada akhirnya akan mewarnai cara berpikir dan perilaku manusia.
Nilai menjadi hal yang penting pada tiap fase perkembangan individu karena nilai menjadi dasar dalam menentukan pengambilan keputusan. Rusaknya nilai dalam mesyarakat tentunya berdampak negatif pula terhadap perkembangan masyarakat itu sendiri. Sebagai imbasnya setiap aspek kehidupan, baik yang secara langsung atau tak langsung memberikan pengaruh terhadap masyarakat ikut terganggu dan bahkan menjadi "hancur,' (Tirtarahardj a,1994).
Perkembangan masyarakat beserta kebudayaannya mengalami percepatan. Percepatan perubahan ini berdampak kepada hal-hal sebagai berikut: (l) kecenderungan globalisasi yang mikin kuat; (2) perkembangan IPTEK yang makin pesat; (3) perkembangan arus informasi yang makin padat dan cepat, dan (4) tuntutan peningkatan layanan profesional dalam berbagai aspek kehidupair manusia. (Tirtarahardja, 1994).
Alfin Tofler (Ancok, 2002) menggambarkan kemasakinian dalam konteks peradaban dunia dengan istilah Gelombang Keempat (Fourt Wave); yaitu respiritulisasi berupa bentuk akomodatif terhadap potensi dan antisipatifterhadap tantangan dan perubahan yang semakin cepat, dengan jalan membentuk kerjasama antar tiap individu dalam adegan mikro, messo dan juga makro; sehingga terjadi suatu harmoni dalam kehidupan dan keseimbangan (equilibirium) dalam tatanan kehidupan, baik dengan individu itu sendiri, alam, maupun dengan lingkungan sekitar.
Terkait dengan aspek religiusitas/spiritualitas atau pada istilah lain tmnsedensi, dalam kajian keilmuan bimbingan dan konseling terdapat beberapa pandangan yang disampaikan para ahli psikologi, khususnya yang beraliran fenomenologis-eksistensial. Pertama, yang dipelopori oleh Viktor E. Frankl dengan faham Logo Terapinya; dan kedua, Abraham E. Maslow dengan teori kebutuhannya (need theory) mencetuskan tentang konsep yang terkait dengan upaya membantu individu untuk mencapai perkembangan optimal, walaupun dengan pemaknaan dan perspektif yang berbeda untuk masing-masing faham. Frankl memaknai transendensi sebagai akumulasi pengalaman individu yang bertendensi negatif dan positif, sehingga melahirkan kebermaknaan hidup; sedangkan Maslow memaknai trensendensi sebagai pencapaian aktualisasi diri (self actualization) oleh individu.
Walaupun perspektif mereka berbeda, akan tetapi yang perlu dicatat di sini adalah keberanian dan pencapaian "kontemplasi" mereka dalam mengetengahkan tentang sisi keterbatasan individu dalam memahami peristiwa ataupun pengalaman yang dialami individu yang berada di luar jangkauan pemahaman inderawi dan nalar logik manusiawi. Dari pemahaman itu, pada akhirnya mendorong individu untuk meyakini hakikat ketuhanan, menyadarkan akan kelemahan yang dimilikinya, dan sek4ligus menjadi motivasi untuk mengembangkan potensi diri secara proporsional.
Faham-faham yang dilontarkan para tokoh aliran fenomenologis- eksistensial tersebut secara langsung membantah pandangan psikoanalitik yang cenderung memandang individu dari sudut negatif dengan sifat-sifatnya yang pesimisitik, deterministik, dan juga penuh kecemasan; begitupun behavioristik yang memandang individu mekanistik yang dapat diubah dengan formula SR (Stimulus dan Respon). Faham ini seolah menyadarkan individu tentang hakikat hidup dan potensi diri yang sesungguhnya masih banyak yang belum terungkap, sehingga mengantarkan individu untuk meyakini terhadap suatu kekuatan yang berada di luar jangkauan dan kekuatan diri mereka.
Nilai-nilai religiusitas dalam kehidupan individu menjadi urgen karena pada diri individu terdapat potensi dan kecenderungan yang berorientasi pada obyek pemikiran dan kontemplasi pada realitas di luar wilayah materi yang bersifat fisik (Hidayat,2042). Kecenderungan ini membawa pada suatu kesadaran diri (self awareness) tentang kelebihan dan kelemahan diri, dan keterbatasan aspek-aspek inderawi dalam memahami sesuatu yang berada di luar jangkauan fisik dan rasio kamanusiaan.
Dimensi religiusitas dalam aktivitas konseling menjadi cukup signifikan, karena konseling merupakan aktivitas yang focus pada upaya membantu (building relationship) individu/klien dengan segala potensi dan keunikaffrya untuk mencapai perkembangan yang optimal. Sementara itu dimensi religiusitas berfungsi sebagai radar yang mengarahkan pada suatu titik tentang realitas, bahwa terdapat aspek-aspek kompleks pada diri individu yang tak terjangkau untuk ditelusuri dan dijamah, serta menyadarkan bahwa aspek hidayah hanya datang dari Sang Penggenggam kehidupan itu sendiri.
Tentunya dimensi tersebut akan melahirkan nuansa spiritualitas yang cukup kental pada aktivitas konseling, yang berupa motivasi untuk semakin konsisten dengan profesi yang ditekuni dan menimbulkan kobaran api semangat untuk membantu individu/klien dengan penuh keikhlasan, serta menciptakan nilai-nilai ketuhanan pada aktivitas bantuan yang dilakukan dalam bentuk empati, perhatian, dan kasih sayang.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar