Relevansi
dari kuatnya arus globalisasi sebagai bukti dari perkembangan zamanmenurut
pendapat sebagian pakar merupakan proses met ghilungnya sekat-sekat pembatasan
ruang dan waktu yang berdampak kipada semakin transparannya proses transformasi
nilai-nilai dan terjadinya asimilasi budaya yang semakin cepat dan nyaris tanpa
batas (the world without border)
(Tilaar, 2000).
Kondisi demikian pada akhimya menjadikan individu dituntut untuk semakin
kompetitif dan mampu bersaing dengan individu yang lainnya. Pada saat itu,
individu yang lambat akan tertinggal dan kehilangan kesempatan untuk
mendapatkan kebahagiaan hidup dengan segala kenikmatannya. Sebaliknya,
kesuksesan hanya akan aimititi otett individu yang mampu bersaing dan memiliki kedewasaan
dalam berpikir dan mengaktualisasikan diri dalam kehidupan sosial masyarakatnya.
Kehidupan sosial budaya suatu masyarakat pada hakikatnya adalah sistem
terbuka yang selalu berinteraksi dengan sistem lain. Keterbukaan sistem sebagai
dampak globalisasi mendorong terjadinya pertumbuhan, pergeseran, dan perubahan
nilai dalam masyarakat, yang pada akhirnya akan mewarnai cara berpikir dan perilaku
manusia.
Nilai menjadi hal yang penting pada tiap fase perkembangan individu
karena nilai menjadi dasar dalam menentukan pengambilan keputusan. Rusaknya
nilai dalam mesyarakat tentunya berdampak negatif pula terhadap perkembangan
masyarakat itu sendiri. Sebagai imbasnya setiap aspek kehidupan, baik yang
secara langsung atau tak langsung memberikan pengaruh terhadap masyarakat ikut terganggu
dan bahkan menjadi "hancur,' (Tirtarahardj a,1994).
Perkembangan masyarakat beserta kebudayaannya mengalami percepatan.
Percepatan perubahan ini berdampak kepada hal-hal sebagai berikut: (l)
kecenderungan globalisasi yang mikin kuat; (2) perkembangan IPTEK yang makin
pesat; (3) perkembangan arus informasi yang makin padat dan cepat, dan (4)
tuntutan peningkatan layanan profesional dalam berbagai aspek kehidupair
manusia. (Tirtarahardja, 1994).
Alfin Tofler (Ancok, 2002) menggambarkan kemasakinian dalam konteks
peradaban dunia dengan istilah Gelombang Keempat (Fourt Wave); yaitu
respiritulisasi berupa bentuk akomodatif terhadap potensi dan
antisipatifterhadap tantangan dan perubahan yang semakin cepat, dengan jalan
membentuk kerjasama antar tiap individu dalam adegan mikro, messo dan juga makro;
sehingga terjadi suatu harmoni dalam kehidupan dan keseimbangan (equilibirium) dalam tatanan kehidupan,
baik dengan individu itu sendiri, alam, maupun dengan lingkungan sekitar.
Terkait dengan aspek religiusitas/spiritualitas atau pada istilah lain
tmnsedensi, dalam kajian keilmuan bimbingan dan konseling terdapat beberapa
pandangan yang disampaikan para ahli psikologi, khususnya yang beraliran
fenomenologis-eksistensial. Pertama, yang dipelopori oleh Viktor E. Frankl
dengan faham Logo Terapinya; dan kedua, Abraham E. Maslow dengan teori kebutuhannya
(need theory) mencetuskan tentang
konsep yang terkait dengan upaya membantu individu untuk mencapai perkembangan optimal,
walaupun dengan pemaknaan dan perspektif yang berbeda untuk masing-masing
faham. Frankl memaknai transendensi sebagai akumulasi pengalaman individu yang
bertendensi negatif dan positif, sehingga melahirkan kebermaknaan hidup; sedangkan
Maslow memaknai trensendensi sebagai pencapaian aktualisasi diri (self actualization)
oleh individu.
Walaupun perspektif mereka berbeda, akan tetapi yang perlu dicatat di
sini adalah keberanian dan pencapaian "kontemplasi" mereka dalam
mengetengahkan tentang sisi keterbatasan individu dalam memahami peristiwa
ataupun pengalaman yang dialami individu yang berada di luar jangkauan
pemahaman inderawi dan nalar logik manusiawi. Dari pemahaman itu, pada akhirnya
mendorong individu untuk meyakini hakikat ketuhanan, menyadarkan akan kelemahan
yang dimilikinya, dan sek4ligus menjadi motivasi untuk mengembangkan potensi
diri secara proporsional.
Faham-faham yang dilontarkan para tokoh aliran fenomenologis- eksistensial
tersebut secara langsung membantah pandangan psikoanalitik yang cenderung
memandang individu dari sudut negatif dengan sifat-sifatnya yang pesimisitik, deterministik,
dan juga penuh kecemasan; begitupun behavioristik yang memandang individu
mekanistik yang dapat diubah dengan formula SR (Stimulus dan Respon). Faham ini
seolah menyadarkan individu tentang hakikat hidup dan potensi diri yang
sesungguhnya masih banyak yang belum terungkap, sehingga mengantarkan individu untuk
meyakini terhadap suatu kekuatan yang berada di luar jangkauan dan kekuatan
diri mereka.
Nilai-nilai religiusitas dalam kehidupan individu menjadi urgen karena
pada diri individu terdapat potensi dan kecenderungan yang berorientasi pada
obyek pemikiran dan kontemplasi pada realitas di luar wilayah materi yang
bersifat fisik (Hidayat,2042). Kecenderungan ini membawa pada suatu kesadaran
diri (self awareness) tentang kelebihan dan kelemahan diri, dan keterbatasan aspek-aspek
inderawi dalam memahami sesuatu yang berada di luar jangkauan fisik dan rasio
kamanusiaan.
Dimensi religiusitas dalam aktivitas konseling menjadi cukup signifikan,
karena konseling merupakan aktivitas yang focus pada upaya membantu (building
relationship) individu/klien dengan segala potensi dan keunikaffrya untuk
mencapai perkembangan yang optimal. Sementara itu dimensi religiusitas
berfungsi sebagai radar yang mengarahkan pada suatu titik tentang realitas,
bahwa terdapat aspek-aspek kompleks pada diri individu yang tak terjangkau
untuk ditelusuri dan dijamah, serta menyadarkan bahwa aspek hidayah hanya
datang dari Sang Penggenggam kehidupan itu sendiri.
Tentunya dimensi tersebut akan melahirkan nuansa spiritualitas yang cukup
kental pada aktivitas konseling, yang berupa motivasi untuk semakin konsisten
dengan profesi yang ditekuni dan menimbulkan kobaran api semangat untuk
membantu individu/klien dengan penuh keikhlasan, serta menciptakan nilai-nilai
ketuhanan pada aktivitas bantuan yang dilakukan dalam bentuk empati, perhatian,
dan kasih sayang.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar