Tinjauan agama Islam (Shihab, 1994: 2S0-2S5) berkaitan dengan manusia
adalah bahwa semua manusia diciptakan Allah Swt. Dari debu tanah dan Ruh llahi.
Apabila daya tarik debu tanah mengalahkan daya tarik Ruh llahi, ia akan jatuh
tersungkur sehingga mencapai tingkat yang serendah-rendahnya, lebih rendah
bahkan daripada binatang. Sebaliknya bila Ruh llahi yang memenangkan tarik-menarik,
manusia akan menjadi seperti malaikat. Tuhan tidak menghendaki manusia menjadi
malaikat, tidak pula binatang, karenanya unsur kejadiannya harus dapat menyatu
dalam dirinya. Ketika itulah ia mencapai kualitas yang diharapkan.
Melalui debu tanah dan Ruh Ilahi, Allah Swt menganugerahkan manusia
empat daya, yaitu: (l) daya tubuh, yang mengantar manusia berkekuatan fisik.
Berfungsinya organ tubuh dan panca indera, (2) daya hidup yang menjadikannya
memiliki kemampuan mengembangkan dan menyesuaikan diri dengan lingkungan serta mempertahankan
hidupnya dalam menghadapi tantangan, (3) daya akal, yang memungkinkannya
memiliki ilmu pengetahuan dan teknologi, dan (4) daya qolbu, yang
memungkinkannya bermoral, merasakan keindahan, kelezatan iman, dan kehadiran Allah
Swt. Dari daya inilah lahir intuisi dan indera keenam.
Apabila keempat daya itu digunakan dan dikembangkan secara baik, maka
kualitas pribadi akan mencapai puncaknya, yaitu suatu pribadi yang beriman,
berbudi pekerti luhur, memiliki kecerdasan, ilmu pengetahuan, keterampilan,
keuletan, serta wawasan masa depan dengan fisik yang sehat wal'afiat.
Apabila melihat kembali ke-l2langkah yang dikemukakan oleh Jesse Lair,
kemudian kita kaitkan dengan ajaran Islam, sebetulnya langkah-langkah itu
identik dengan muhasabah (instrospeksi diri) yang secara lengkap telah ada dan
harus dilakukan oleh seluruh umat manusia. Ada satu buku yang menarik sekali yang
berkaitan dengan masalah ini, yaitu Mencermini Aib
Diri dalam Hidup Keseharian yang disusun oleh M.D. Dahlan dan Syihabudin.
Buku ini dapat dijadikan cermin perilaku kita seharihari berisi berbagai dalil yang
dapat dijadikan indikator tentang aib kita.
Abu Yazid al-Busthomi (Dahlan dan Syihabudin, 2001: 6) mengajak kita
untuk menggunakan perubahan fisik sebagai cermin yang menggambarkan kadar
perilaku. Ia banyak belajar setelah melihat perubahan pada dirinya sendiri. Ia
berkata, "Telah nampak rambutku beruban, akan tetapi aib diriku tidak juga
hilang. Aku tak tahu apa yang tedadi di alam ghaib. Wahai orang-orang yang di
masa mudanya memakmurkan dunia. Orang kagum akan kehebatanmu. Tidak ada yang
menghalangi upaya memakmurkan. Akan tetapi...sebentar lagi jasadnya akan
berangsur hancur."
Kegiatan pemakmuran dunia dipimpin oleh daya qolbu. Dalam kenyataan
sehari-hari daya qolbu ini sering tidak berdaya dalam menghadapi
"keroyokan" daya-daya yang lain. Konflik sering muncul karena adanya
intervensi pihak luar, yaitu setan, jin, dan manusia. Konflik ini sering
menyeret qolbu untuk melakukan pelanggaran terhadap aturan. Pelanggaran
terhadap aturan itulah yang disebut dengan dosa. Pelanggaran tersebut sangat
variatif, sehingga jenis dosa pun menjadi bervariasi pula karena melihat kuantitas,
kualitas, dan dimensinya.
Lalu, apa dampak dari adanya berbagai macam dosa tersebut terhadap
qolbu? Apakah qolbu yang berdosa mampu menjadi manajer yang mengarahkan
daya-daya yang ada pada manusia dalam rangka melakukan pemakmuran? Dapatkah
qolbu yang demikian melakukan pemakmuran yang berkategori ibadah, sehingga ia
dapat melanjutkan perjalanan ke alam akhirat dengan akomodasi yang memadaidan
semangat qollbu yang sehat?
Selanjutnya Dahlan dan Syihabudin (2001: l3) mengemukakan bahwa
pertanyaan-pertanyaan di atas dapat dijawab melalui Sabda Rasulullah SAW yang
diriwayatkan oleh Abu Hurairah sebagai berikut:
|
Jika seorang muslim melakukan suatu dosa, timbullah noda
hitam dalam qolbunya. Jika dia bertaubat, berhenti, dan meminta
kemuliaan, jernihlah qolbunya. Jika dosanya bertambah, bertambahlah nodanya
hingga menutupi qolbunya. Noda itulah yang dimaksud dengan arran
di dalam firman (Q.S. Al-Muthaffifin 83: l4), "sama sekali
tidak demikian, tetapi apo yang dahulu senantiasa mereka menutupi
hatinya ". (HR.. Muhammad bin Basyar).
Sementara itu dalam hadist yang diriwayatkan oleh Mujahid (Al Ghozali, IV : 42-52) dikatakan
:
Qolbu itu ibarat telapak tangan yang terbulu. Jika
seorang hamba berbuat dosa, lipatlah sebuah jari sehingga seluruh jari melipat
(tangan mengepal) maka qolbu pun tertutup itulah yang dimaksud dengan
terkuncinya qolbu.
Kedua hadist di atas menjelaskan dampak dari perbuatan dosa terhadap
qolbu yang merupakan dinamisator bagi jasad manusia. Semakin banyak dosa yang
dilakukan semakin pekatlah hatinya oleh noda, sehingga ia. tidak tertembus oleh
cahaya Al-Quran. Padahal untuk itulah Allah Swt. menurunkan Al-Quran sebagai referensi bagi
daya qolbu dalam menengahi konflik berbagai kepentingan.
Setelah menelaah dan mencermini aib diri kita masing-masing Allah insya
rll kita menjadi arif. Seberapa banyakkah noda dan aib diri? Seberapa tebalkah noda
hitam itu di qolbu kita? Langkah selanjutnya adalah membersihkan noda dan aib
diri yang kita ketahui melalui proses taubat dan istighfar.
Menurut Gymnastiar (2002: 19) ada tiga langkah dalam mengupayakan taubat
nasuha yaitu: 1). Kita harus belajar menyesali perbuatan dosa yang telah
dilakukan. Tidak termasuk orang yang bertaubat ketika merasa bangga dengan
kebusukan masa lalunya. Jangan sampai kita berpikir untuk mengulanginya lagi. Rasa
sakit, perih, penyesalan, itulah tanda-tanda kualitas taubat, 2). Secara jelas
kita memohon ampunan misalnya dengan doa "rabbana zholamna anfusana wa in lam taghfir lana wa tarhambna lanohtnanna
minal khasirin." ("Wahai tuhan kami, kami sudah zalim pada diri
kami sendiri. Kalau engkau tidak mengampuni dan tidak menyayangi maka tentulah
kami akan menjadi orang yang merugi.") Berdoa memohon ampunan Allah bisa
menggunakan bahasa apa saja asalkan tulus, dan 3). Ada keinginan kuat untuk tidak
mengulangi perbuatan dosa itu lagi. Kesempurnaan taubat adalah menutupinya
dengan perbuatan baik. Jika langkah tersebut telah dilakukan, insya Allah kita
akan memiliki qolbu yang suci, bening, dan sehat. Al-Quran mengistilahkan qolbu
yang demikian dengan Qolbun Salim. Wallahu a'lam bishshawab.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar