Senin, 16 Desember 2013

Renungan Diri


Tinjauan agama Islam (Shihab, 1994: 2S0-2S5) berkaitan dengan manusia adalah bahwa semua manusia diciptakan Allah Swt. Dari debu tanah dan Ruh llahi. Apabila daya tarik debu tanah mengalahkan daya tarik Ruh llahi, ia akan jatuh tersungkur sehingga mencapai tingkat yang serendah-rendahnya, lebih rendah bahkan daripada binatang. Sebaliknya bila Ruh llahi yang memenangkan tarik-menarik, manusia akan menjadi seperti malaikat. Tuhan tidak menghendaki manusia menjadi malaikat, tidak pula binatang, karenanya unsur kejadiannya harus dapat menyatu dalam dirinya. Ketika itulah ia mencapai kualitas yang diharapkan.
Melalui debu tanah dan Ruh Ilahi, Allah Swt menganugerahkan manusia empat daya, yaitu: (l) daya tubuh, yang mengantar manusia berkekuatan fisik. Berfungsinya organ tubuh dan panca indera, (2) daya hidup yang menjadikannya memiliki kemampuan mengembangkan dan menyesuaikan diri dengan lingkungan serta mempertahankan hidupnya dalam menghadapi tantangan, (3) daya akal, yang memungkinkannya memiliki ilmu pengetahuan dan teknologi, dan (4) daya qolbu, yang memungkinkannya bermoral, merasakan keindahan, kelezatan iman, dan kehadiran Allah Swt. Dari daya inilah lahir intuisi dan indera keenam.
Apabila keempat daya itu digunakan dan dikembangkan secara baik, maka kualitas pribadi akan mencapai puncaknya, yaitu suatu pribadi yang beriman, berbudi pekerti luhur, memiliki kecerdasan, ilmu pengetahuan, keterampilan, keuletan, serta wawasan masa depan dengan fisik yang sehat wal'afiat.
Apabila melihat kembali ke-l2langkah yang dikemukakan oleh Jesse Lair, kemudian kita kaitkan dengan ajaran Islam, sebetulnya langkah-langkah itu identik dengan muhasabah (instrospeksi diri) yang secara lengkap telah ada dan harus dilakukan oleh seluruh umat manusia. Ada satu buku yang menarik sekali yang berkaitan dengan masalah ini, yaitu Mencermini Aib
Diri dalam Hidup Keseharian yang disusun oleh M.D. Dahlan dan Syihabudin. Buku ini dapat dijadikan cermin perilaku kita seharihari berisi berbagai dalil yang dapat dijadikan indikator tentang aib kita.
Abu Yazid al-Busthomi (Dahlan dan Syihabudin, 2001: 6) mengajak kita untuk menggunakan perubahan fisik sebagai cermin yang menggambarkan kadar perilaku. Ia banyak belajar setelah melihat perubahan pada dirinya sendiri. Ia berkata, "Telah nampak rambutku beruban, akan tetapi aib diriku tidak juga hilang. Aku tak tahu apa yang tedadi di alam ghaib. Wahai orang-orang yang di masa mudanya memakmurkan dunia. Orang kagum akan kehebatanmu. Tidak ada yang menghalangi upaya memakmurkan. Akan tetapi...sebentar lagi jasadnya akan berangsur hancur."
Kegiatan pemakmuran dunia dipimpin oleh daya qolbu. Dalam kenyataan sehari-hari daya qolbu ini sering tidak berdaya dalam menghadapi "keroyokan" daya-daya yang lain. Konflik sering muncul karena adanya intervensi pihak luar, yaitu setan, jin, dan manusia. Konflik ini sering menyeret qolbu untuk melakukan pelanggaran terhadap aturan. Pelanggaran terhadap aturan itulah yang disebut dengan dosa. Pelanggaran tersebut sangat variatif, sehingga jenis dosa pun menjadi bervariasi pula karena melihat kuantitas, kualitas, dan dimensinya.
Lalu, apa dampak dari adanya berbagai macam dosa tersebut terhadap qolbu? Apakah qolbu yang berdosa mampu menjadi manajer yang mengarahkan daya-daya yang ada pada manusia dalam rangka melakukan pemakmuran? Dapatkah qolbu yang demikian melakukan pemakmuran yang berkategori ibadah, sehingga ia dapat melanjutkan perjalanan ke alam akhirat dengan akomodasi yang memadaidan semangat qollbu yang sehat?
Selanjutnya Dahlan dan Syihabudin (2001: l3) mengemukakan bahwa pertanyaan-pertanyaan di atas dapat dijawab melalui Sabda Rasulullah SAW yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah sebagai berikut:


Jika seorang muslim melakukan suatu dosa, timbullah noda
hitam dalam qolbunya. Jika dia bertaubat, berhenti, dan meminta
kemuliaan, jernihlah qolbunya. Jika dosanya bertambah,  bertambahlah nodanya
hingga menutupi qolbunya. Noda itulah yang dimaksud dengan arran
di dalam firman (Q.S. Al-Muthaffifin 83: l4), "sama sekali
tidak demikian, tetapi apo yang dahulu senantiasa mereka menutupi
hatinya ". (HR.. Muhammad bin Basyar).


Sementara itu dalam hadist yang diriwayatkan oleh Mujahid             (Al Ghozali, IV : 42-52) dikatakan :


Qolbu itu ibarat telapak tangan yang terbulu. Jika seorang hamba berbuat dosa, lipatlah sebuah jari sehingga seluruh jari melipat (tangan mengepal) maka qolbu pun tertutup itulah yang dimaksud dengan terkuncinya qolbu.

Kedua hadist di atas menjelaskan dampak dari perbuatan dosa terhadap qolbu yang merupakan dinamisator bagi jasad manusia. Semakin banyak dosa yang dilakukan semakin pekatlah hatinya oleh noda, sehingga ia. tidak tertembus oleh cahaya Al-Quran. Padahal untuk itulah Allah Swt.  menurunkan Al-Quran sebagai referensi bagi daya qolbu dalam menengahi konflik berbagai kepentingan.
Setelah menelaah dan mencermini aib diri kita masing-masing Allah insya rll kita menjadi arif. Seberapa banyakkah noda dan aib diri? Seberapa tebalkah noda hitam itu di qolbu kita? Langkah selanjutnya adalah membersihkan noda dan aib diri yang kita ketahui melalui proses taubat dan istighfar.
Menurut Gymnastiar (2002: 19) ada tiga langkah dalam mengupayakan taubat nasuha yaitu: 1). Kita harus belajar menyesali perbuatan dosa yang telah dilakukan. Tidak termasuk orang yang bertaubat ketika merasa bangga dengan kebusukan masa lalunya. Jangan sampai kita berpikir untuk mengulanginya lagi. Rasa sakit, perih, penyesalan, itulah tanda-tanda kualitas taubat, 2). Secara jelas kita memohon ampunan misalnya dengan doa "rabbana zholamna anfusana wa in lam taghfir lana wa tarhambna lanohtnanna minal khasirin." ("Wahai tuhan kami, kami sudah zalim pada diri kami sendiri. Kalau engkau tidak mengampuni dan tidak menyayangi maka tentulah kami akan menjadi orang yang merugi.") Berdoa memohon ampunan Allah bisa menggunakan bahasa apa saja asalkan tulus, dan 3). Ada keinginan kuat untuk tidak mengulangi perbuatan dosa itu lagi. Kesempurnaan taubat adalah menutupinya dengan perbuatan baik. Jika langkah tersebut telah dilakukan, insya Allah kita akan memiliki qolbu yang suci, bening, dan sehat. Al-Quran mengistilahkan qolbu yang demikian dengan Qolbun Salim. Wallahu a'lam bishshawab.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar