Berbicara tentang peran sarjana dalam kehidupan, berarti berbicara
tentang perilaku nyata yang dapat dilakukan sarjana, dan perilaku ynag
diharapkan dilakukan oleh sarjana. Sarjana dianggap serba tahu dan menjadi
temapat identifikasi anggota masyarakat. Oleh karena itu, sarjana menjadi
tempat bertanya dan barometer budi pekerti masyarakatnya. Memang manusia
berbudi tidak selalu harus jadi sarjana, akan tetapi seorang sadana dituntut
untuk selalu berbudi. Bukankah pendidikan dinegara kita bertujuan menghailkan manusia
beriman dan taqwa kepada Allah Swt?
Karena itu, sebagai sarjana diharapkan berbuat sesuatu atas inisiatif
dan kreativitas sendiri. Hanya manusia yang berkualitas kreatiflah yang dapat
tampil sebagai insane pembangun. Iqbal menyenandungkan ekspektasinya itu dengan
ungkapan:
Intelek
dengan nyalanya yang menggelora.
Membakar
hangus alam semesta.
Dan dari
cinta ia belajar menghangat teranginya.
Laluilah
alunan intelek.
Lalu
bergulung dalam gelombang cinta,
Yang seluas
dan sedalam samudera
Sebab
dangkalan intelektual,
Tidak
mengandung mutiara.
Seorang sarjana diharapkan tidak melarutkan dirinya menjadi robot yang
seluruhnya digerakkan dari luar. Tidak pula diharapkan tergelincir pada
pemujaan intelek yang hanya bekerja dikendalikan otak. Ia diharapkan mampu
memilih, mampu mendengar kata hatinya, mampu menyuarakan bisikan kalbunya. Berpikir
menurut kata hati sendiri itu tidak boleh menjurus kepada egoisme dan
individualisme yang hanya ingin benar sendiri. Bisikan hati nurani merupakan
panggilan dari dalam, dan sekaligus dari atas dirinya sendiri.
AHLI hikmah
menggambarkan indikator ketaqwaan manusia yang telah melampaui proses
pendidikan dan mencapai derajat taqwa, terwujud dalam perilaku berikut ini:
a. memilih kerja keras dari
pada mencari kenikmatan. Ini berarti bahwa sarjana dituntut untuk selalu
memiliki dorongan kerja yang tidak putus asa. Kebutuhan untuk memperoleh hisil
kerja yang sebaik-baiknya menjadi tolak ukur yang sewajarnya dicapai oleh
sarjana.
b. Memilih ketekunan kerja
dari pada bersantai-santai. Ini berarti bahwa seorang sarjana akan selalu
meliubatkan diri dalam kegiatan apapun yang tidak kenal lelah.
c. Memilih merendah dari pada
memperlihatkan kesombongan dan kecongkakan berilmu. Ini berarti bahwa seorang
sarjana tidak pernah mau berhenti belajar, karena selalu merasa kekurangan ilmu
yang telah dikuasainya. pendidikan hendaknya jangan diartikan sekedar belajar
cara bekerja dan mencari lapangan kerja. Gelar sarjana hendaknya diartikan
sebagai tingkat perolehan belajar cara belajar hidup. Ini berarti bahwa
kisarjanaan menjamin kesempatan bagi yang bersangkutan untuk mengembangkan diri
lebih luas, lebih kokoh dan lebih mantap.
d. Memilih bertindak sederhana
dari pada berrebih-lebihan. Segala tindakannya didasarkan pada perencanaan yang
matang dan diperhitungkan terlebih dahulu.
e. Memilih upaya untuk
memperoleh kebahagian abadi dari padakebahagian yang temporer. Kebahagian abadi
ini mencuat ke masa depan yang memperlihatkan cakrawala yang sangat luas, menembus
hari esok yang membentang hingga hari kiamat.
TIDAK dapat
disangkal lagi bahwa sarjana dituntut untuk berperilaku yang lebih mengakar
pada budi pekerti yang daram. Ia diharapkan memanfaatkan ilmunya dalam
menjangkau kebahagiaan abadi. Karena itu sarjana dituntut agar:
a. tidak menggunakan ilmunya
sekedar untuk mencari keuntungan keduniawian belaka, akan tetapi selalu
dikaitkan dengan kebahagian abadi. Ia dituntut untuk bekerja keras akan tetapi janganlah
pekerjaan itu selalu dikaitkan dengan keuntungan sewaktu belaka.
b. Bertindak konsekuen
sehingga ucapan dan perilakunya seirama. Tuntutan ini disajikan dalam bentuk
kalimat berikut: Jangan kau larang orang
berbuat, padahal engkau sendiri melakukannya Celaka besar bagimu bila engkau
melakukan larangan tersebut.
c. Selalu menapilkan kegiatan
ynag memberikan manfaat bagi kepentingan manusia. Ini berarti bahwa seorang
sarjana tidak tengelam dan tidak tunduk kepada lingkungan-lingkungan hendaknya
dipandang sebagai tantangan untuk diatasi. Ia berkewajiban untuk menata
lingkungan sesuai dengan bidang keahliannya.
Keterlibatan sarjana dalam lingkungannya tidak
sekedar menyangkut lapisan periferal belaka, akan tetapi hendaknya langsung
menghujam ke dalam kemanusiaan. Ia hendaknya menjawab tantangan lingkungan itu
secara manusiawi dalam upaya mewujudkan iman dan taqwa kepada Allah Swt.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar