Selasa, 03 Desember 2013

Peran Intelek dalam kehidupan sehari hari


Berbicara tentang peran sarjana dalam kehidupan, berarti berbicara tentang perilaku nyata yang dapat dilakukan sarjana, dan perilaku ynag diharapkan dilakukan oleh sarjana. Sarjana dianggap serba tahu dan menjadi temapat identifikasi anggota masyarakat. Oleh karena itu, sarjana menjadi tempat bertanya dan barometer budi pekerti masyarakatnya. Memang manusia berbudi tidak selalu harus jadi sarjana, akan tetapi seorang sadana dituntut untuk selalu berbudi. Bukankah pendidikan dinegara kita bertujuan menghailkan manusia beriman dan taqwa kepada Allah Swt?
Karena itu, sebagai sarjana diharapkan berbuat sesuatu atas inisiatif dan kreativitas sendiri. Hanya manusia yang berkualitas kreatiflah yang dapat tampil sebagai insane pembangun. Iqbal menyenandungkan ekspektasinya itu dengan ungkapan:
Intelek dengan nyalanya yang menggelora.
Membakar hangus alam semesta.
Dan dari cinta ia belajar menghangat teranginya.
Laluilah alunan intelek.
Lalu bergulung dalam gelombang cinta,
Yang seluas dan sedalam samudera
Sebab dangkalan intelektual,
Tidak mengandung mutiara.
Seorang sarjana diharapkan tidak melarutkan dirinya menjadi robot yang seluruhnya digerakkan dari luar. Tidak pula diharapkan tergelincir pada pemujaan intelek yang hanya bekerja dikendalikan otak. Ia diharapkan mampu memilih, mampu mendengar kata hatinya, mampu menyuarakan bisikan kalbunya. Berpikir menurut kata hati sendiri itu tidak boleh menjurus kepada egoisme dan individualisme yang hanya ingin benar sendiri. Bisikan hati nurani merupakan panggilan dari dalam, dan sekaligus dari atas dirinya sendiri.
AHLI hikmah menggambarkan indikator ketaqwaan manusia yang telah melampaui proses pendidikan dan mencapai derajat taqwa, terwujud dalam perilaku berikut ini:
a.    memilih kerja keras dari pada mencari kenikmatan. Ini berarti bahwa sarjana dituntut untuk selalu memiliki dorongan kerja yang tidak putus asa. Kebutuhan untuk memperoleh hisil kerja yang sebaik-baiknya menjadi tolak ukur yang sewajarnya dicapai oleh sarjana.
b.    Memilih ketekunan kerja dari pada bersantai-santai. Ini berarti bahwa seorang sarjana akan selalu meliubatkan diri dalam kegiatan apapun yang tidak kenal lelah.
c.    Memilih merendah dari pada memperlihatkan kesombongan dan kecongkakan berilmu. Ini berarti bahwa seorang sarjana tidak pernah mau berhenti belajar, karena selalu merasa kekurangan ilmu yang telah dikuasainya. pendidikan hendaknya jangan diartikan sekedar belajar cara bekerja dan mencari lapangan kerja. Gelar sarjana hendaknya diartikan sebagai tingkat perolehan belajar cara belajar hidup. Ini berarti bahwa kisarjanaan menjamin kesempatan bagi yang bersangkutan untuk mengembangkan diri lebih luas, lebih kokoh dan lebih mantap.
d.    Memilih bertindak sederhana dari pada berrebih-lebihan. Segala tindakannya didasarkan pada perencanaan yang matang dan diperhitungkan terlebih dahulu.
e.    Memilih upaya untuk memperoleh kebahagian abadi dari padakebahagian yang temporer. Kebahagian abadi ini mencuat ke masa depan yang memperlihatkan cakrawala yang sangat luas, menembus hari esok yang membentang hingga hari kiamat.
TIDAK dapat disangkal lagi bahwa sarjana dituntut untuk berperilaku yang lebih mengakar pada budi pekerti yang daram. Ia diharapkan memanfaatkan ilmunya dalam menjangkau kebahagiaan abadi. Karena itu sarjana dituntut agar:
a.    tidak menggunakan ilmunya sekedar untuk mencari keuntungan keduniawian belaka, akan tetapi selalu dikaitkan dengan kebahagian abadi. Ia dituntut untuk bekerja keras akan tetapi janganlah pekerjaan itu selalu dikaitkan dengan keuntungan sewaktu belaka.
b.    Bertindak konsekuen sehingga ucapan dan perilakunya seirama. Tuntutan ini disajikan dalam bentuk kalimat berikut: Jangan kau larang orang berbuat, padahal engkau sendiri melakukannya Celaka besar bagimu bila engkau melakukan larangan tersebut.
c.    Selalu menapilkan kegiatan ynag memberikan manfaat bagi kepentingan manusia. Ini berarti bahwa seorang sarjana tidak tengelam dan tidak tunduk kepada lingkungan-lingkungan hendaknya dipandang sebagai tantangan untuk diatasi. Ia berkewajiban untuk menata lingkungan sesuai dengan bidang keahliannya.
Keterlibatan sarjana dalam lingkungannya tidak sekedar menyangkut lapisan periferal belaka, akan tetapi hendaknya langsung menghujam ke dalam kemanusiaan. Ia hendaknya menjawab tantangan lingkungan itu secara manusiawi dalam upaya mewujudkan iman dan taqwa kepada Allah Swt.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar